(Eksklusif untuk anda, sebuah puisi esei projek pertama kompilasi puisi-puisi esei di Sabah, atas usaha Komunitas Puisi Esei Indonesa dan BAHASA di Sabah, Malaysia. Karya ini salah satunya dimuatkan dalam Antologi KEMILAU SATU LANGIT.)
ABSTRAK
Dulkaseh adalah leluhur keluarga sebelah emak, jejaka Jawa yang membawa diri dan isterinya ke Negeri di Bawah Bayu, Sabah, Malaysia. Dulkaseh adalah salah seorang kontrakan Jawa yang mengabdikan usianya di sebuah perkebunan getah selepas perang dunia pertama.
Bersama isteri yang tercinta bernama Sawi, mereka dikurniai empat orang cahaya mata, dua orang lelaki dan dua orang perempuan. Kamsinah, anak ketiga, merupakan nenek saya yang melahirkan ibu bersama suaminya bernama Sidek. Mereka hidup dalam dunia ladang getah menghidupkan budaya masyarakat Jawa sebagai warisan yang dibawa oleh Dulkaseh. Citra kehidupan masyarakat Jawa begitu menyebati dalam jiwa anak, cucu dan cicit Dulkaseh, ini diperkasakan lagi oleh orang-orang Jawa yang datang kemudian semasa perang Jepun, yang kemudiannya mengecapi kebebasan.
Semua orang-orang Jawa yang pada mula semata bekerja di Sabah tetapi tidak kembali ke negeri asal. Termasuklah Dulkaseh. Walaupun demikian jiwanya tidak pernah melupai tanah leluhur. Darahnya tetap menggelora dalam jiwa cicitnya, ketika mengadakan lawatan ke Provinsi Pontianak, membuka kembali hubungan dua tanah besar Nusantara, Indonesia dan Malaysia melalui darah Dulkaseh.
- - - - - - - - - -
I.
Kali ini aku kembara lagi,
ke negara sahabat
ke negara saudaraku
ke negeri bangsa leluhurku
begitu haru mengingat sosok insan
puluhan tahun membawa diri
menjelajah laut dan rimba
hingga tiba di bumi Sabah[1].
Kata ibuku, namanya Dulkaseh,
pendamping kekasihnya
Sawi perempuan tabah
menyahut ujian
melayan ketabahan
menjadi pekerja kontrakan
di mana kaki melangkahkan
di situlah jiwa disatukan.
Kali ini kuinjak lagi,
tanah Tuhan tanah leluhur
tanahnya yang luas
menelusuri nikmat subur
apakah lagi yang kuraih
selaih meraih ilham
ketika puluhan dekad
moyangku membulatkan azam.
Kukira di mana jua,
mataharinya tetap sama
zahirnya siang
membuka sejuta satu rahsia
aku lahir dari sekecil jasa
moyangku mencurah keringat
cari jauh membajai semangat
tiada lain meraih rahmat.
****
Ini kudatangi negeri matahari,
apa lagi yang kucari?
Bis menolak udara
dari Kuching yang masih sunyi
di Entikong kami diperiksai
wajib sebelum masuk ke destinasi
itulah Kota Pontianak[2]
kota khatulistiwa kota seribu sangsi.
Memandang ke hadapan
berbalam dalam ingatan
seribu satu ingatan
seribu satu peristiwa berdatangan
adakah lagi musykil,
dalam tanya sedari kecil
siapakah gerangan insan
leluhurku kutemui mustahil.
Baru kusedari
di sebelahPak
Hussain Qasau
telah lama melamun
membaca fikirku yang kacau
dia tersenyum tampan
mantan wartawan kukenali mentor
dialah asli Bugis
sering berkunjung ke tanah leluhur.
Kukembara mengukuh jiwa
menumpu lokasi istimewa
tugu khatulistiwa
pertama
istana
keraton Pontianak keduanya
ziarah makam
terkenal
pembesar Bugis di Mempawah
makam Opu Daeng Menambun[3]
sarat oleh sejarah.
Jauh dan lama berjalan
bermakna banyak terpandang
menelusuri jalan yang sempit
tetapi di situlah berpaut lapang
bukit
bukau yang menghijau,
jiwaku terpukau
sungai-sungai yang akrab
mendekap cintaku yang tegap.
Teringat ragam rumah-rumah
teringat desa yang jauh
teringat rumah kongsi
warga kontrakan yang perkasa
sawahsedang
dianyam tanaman
harum aroma lumpur
ladang getah di desaku
aromanya lebih kuakur.
Dan lautan
rumputan di situ,
berbalam membelah masa lalu
di celahannya tompokan air
membasahi hayat nostalgia
satu persatu lembaran masa sudah
membawaku meramahinya
aku ingin mendakapmu
aku ingin bercerita padamlah luka.
****
Katanya, “aku sudah lama di sini”,
Dulkaseh meramahi kawan-kawan
di rumah kongsi yang baru sahaja tiba,
tapi tidak sepertinya Jawa kontrakan[4]
“Aku bertahun-tahun di sini,
isteriku juga sudah dimakamkan di
sini
di ladang getah Lingkungan ini
aku membesarkan Tarsih,
puteri sulungku juga Sakeh,
Kamsinah dan Sagi.”
Kehidupan ini tidak pernah habis
ketika bermulanya langkah
dengan besarnya impian
Dulkaseh remajanya telah siaga
berkahwin muda
dan mengembara bersamanya
meninggalkan keluarga besar
kobar semangat terlalu asa.
Empat orang zuriat mereka
memanjangkan sebuah bangsa
menjadi jati diri
meski pun bukan Indonesia
tetapi mereka berketurunan Jawa
berbudaya Jawa
cucut dan cicit juga membesar
dalam adab Jawa yang luhur.
Memberi ingatan kepada anak-anak
wibawanya yang berpada
biar di mana pun berada
jangan tinggalkan adat
perkasai identiti jati
tersemai dalam diri
anak-anaknya penerus zat
kesaksian tanpa sangsi lagi.
Demikian, ibuku menceritakan
moyangku ingin kembali
tetapi Indonesia itu di kepala
sedang Malaysia itu di hati
cintanya pada Indonesia itu amat
dekat
namun sayangnya pada Malaysia telah
melekat.
Ia tidak betah meninggalkan
anak dan cucu yang bersatu
tidak bisa dibiarkan
biarlah dua ini menjadi satu
kusulam darah dari benang jiwa
kutahu warnanya sama
pabila tiba pada satu ketika
kita merai riwayat sukma keluarga.
II.
Pada garis khatulistiwa[5]
ini
aku sedari tentang kesatuan jiwa
ketika mengamati sesuatu yang luar
biasa,
”ini zaman yang berbeza”,
kakek Rais[6]
teman nenekku,
yang membantu ketika tentera
Australia
mula menyerang tentera Jepun
yang mengejami warga
Disaksikan bukit-bukit di belantara
kata ibu, rasa takut amat
membelenggu
lubang besar telah dikorek pria muda
itulah ruang tempat bertaut
ketika tiba ledakan demi ledakan bom
seperti pagar peluru
melukai bumi datang dari banyak
penjuru.
Kakek Rais sempat merangkul nenek
dan ibu dalam pelukannya
lalu terjun ke dalam lubang
“ya Allah selamatkanlah kami!”
“Mudah-mudahan Jepun bisa dikalahkan
mendengar doa dilepas
Nenekku Sidek melafaz dengan yakin
dan puas
“Semoga aman semula,
biarlah Australia atau Inggeris
yang penting kita aman
dan dapat kembali bekerja.”
kakek Rais menggendong ibu,
saat masih manis
mendengar letupan demi letupan,
irama lagu perang yang menakutkan.
III.
Tiba
hijrahnya waktu bernama usia
Atau masa lampau
yang enggan lupa
untuk segera berangkat
ketika melewati sungai Landak
memandang saujana sosok motor
dan tenat kota,
tak berhenti mendengar bingar.
Ingin kurungkai sejauh mana
jejak kaki melangkah
hingga kudihiburkan gudang kata
tak lagi dihirau merangkak senja
disembunyikan oleh doa-doa
di kota seribu sungai
dan keriuhan yang tak pernah usai.
Ketika ingatan bersahut-sahutan
di celah-celah para insan
membawa pelbagai sepanduk
diiringi zikir dan salawat
pada Rasul Junjungan dikenangi
di desaku saling menghormati
kusantuni kenangan ini
di bahuku tanggungjawab digalasi.
Mengalunkan salawat Nabi
berminggu Kakek Karmani[7]
membimbing kawan-kawanku
memukul kompang
dan aku menyayikan salawat
ke atas Rasul Junjungan
sungguh ketika kujauh
sosok raga pejuang kukenang.
Bergema desa di hari kebesaran Islam
di kota Potinanak
tidak cepat dan tidak lambat
dirai dalam keberadaan
sama melangkah
sama menunjukkan semangat
mencintai Rasulullah
di mana jua kumengingat.
Indonesia ini
sungguh istimewa
kurangkul ke dalam qalbu
budayanyayang rencam
tetapi merimbuni insan-insan
ilmunya mekar dan ranum
bagai buah-buahan tanpa musim
dalam kental berjuang
kental dalam mempertahankan.
Kembara ini menjadikanku pengembala
pada kitab dan buku
saat dahulu kutahu
hanya cerita moyangku aslinya tak
tahu
di sini pati sejarah nusantara
berkembang seperti dahulu
kita saling mencari tetapi menyatu
cinta tak pernah layu.
Telah melebar andatila masa sudah
mulai tumbuh dengan ghairah
paling tidak memperteguh
apa yang telah sedia ada
sesuai dengan jiwa kembara dan seniku
selain
pengalaman
aku
merasakan ilmu mendapat matlamat
dan menggebu azam
menjadi azimat.
IV
Apakah yang akan kutemui
dari kesan-kesan sejarah?
Membawa
ke Mempawah[8]
untuk langsung ke Sebukit Rama
-
kusaksikan makam
pembesar Bugis memerintah
bersangkut dengan Bugis lima bersaudara
keturunan Daeng Rilaka[9].
Di sini jasad Opu
Daeng Menambun bersemadi
sebukit ini telah terlalu tua
untuk membisikkan zamannya
tetapi akar-akar yang menjalar
menyaksikan silih berganti
daun-daun masa mengajak
mencari diri sendiri.
Dari anak-anak tangga
kukembali membaca matahari
dahan-dahan ru dan kapur
gemalai dicumbu angin pagi
kurasai nikmat bergeming di sanubari
atas jejakku ini
mulai menerawang di sekitar
fikiran berbalam menuju silam.
****
Memang benar perang sudah berakhir
ingatanku terbang
menyaksi semua orang-orang
berumah baharu
di ladang Getah Lumadan[10]
ini
hidup aman dan damai
dengan wibawa membina keluarga
memperkasa sakinahnya.
Mereka jauh dari tanah lahir
tak mungkin melawan takdir
ada jambatannya utuh terbina
mengamal budaya bangsa
cara kendurinya dengan upacara rewang[11]
nasi ambeng dibungkus daun pisang.
Aku tak fikir semua ini hadir
tanpa hadirnya leluhurku
jiran senegara ke bumi tempat lahirku
begitu mengintimi kebiasaan kehidupan
dalam pelbagai bangsa
dari generasi ke generasi
disemai di ini dada.
Tak mungkin kurahsiakan
bibit seniku mengalir
adalah darah seni Kamsinah
seorang penari ronggeng
sedang Sidek suaminya si tampan
pemain biola terhebat .
mereka bergabung
memberikan kebahagiaan.
Kepada masyarakat perkebunan inilah
seni yang dianyam
dalam kalangan masyarakat Jawa
dan kedua nenekku itu
bagai mengikat bawaan
al-marhum gemulah moyangku
darah Dulkaseh tak pernah sirna
jadi pengikat kehidupan lalu.
V.
Bumi Pontianak tiba-tiba basah,
bah menakluk daerah rendah,
kuredah jalan kecil
memasuki Kampung Bugis Dalam
menyimpan khazanah,
aku berfikir akulah yang bertuah
membuka lembaran sejarah.
Sepanjang jalan berbagi rasa,
antara gembira dan takut
akibat bahbiarlah sering mendamping
asalkan tidak membencana
anak-anak riang di bumi berkah,
aktivitiberlangsung
seperti biasa.
Saat Sungai Kapuas mengaum,
semua warga terkagum
menyambut dengan sabar
aku menjejakkan kakiku
di istana lama Istana Kadriyah[12]
mencari sejarahnya,
mencari asal susulnya
namun di ruai pamer
dan ruang dalam hanyalah kenangan
kebesaran dan keagungan pemerintah
Yang telah berlalu
****
Seperti jambatan saling menghubungkan
ditakdirkan seni yang mendarah
mengalir juga ke urat diriku
meski aku hanya penukang kata-kata
sungguh tanah ini tetap satu
akan mengembalikan sebuah kehidupan
yang pernah hilang diintimi kembali
akulah cicitnya melangkah ke tanah leluhurnya
walau pun ia tidak akan kembali.
Kembara ini hanya sebahagian dari yang besar
memilih satu persatu
dalam jejak mempersatu
meski Pulau Jawa itu masih jauh
di sini langkahku sedang bermula
mencari tanpa henti.
darah Dulkaseh.
VI.
Gelora darah Dulkaseh begitu dirasakan
saat selepas kuberangkat
kutinggalkan Supadio Airport Pontianak
kenangan terus beranak
menyeberangi sempadan
bersama kesan persaudaraan.
Darah Dulkasehadalah ikatan
saat darahku kembali diulit cuaca negeri sendiri
Sungai Kapuas yang tak puas mengaum
Sungai Landak yang terus menelusuri alurnya.
Itulah kejapnya ingatanku
pada perjalanan moyangku
darahnya yang mengalir sepanjang jarak
kepulauan Nusantara.
Pontianak telah kujejaki,
riuhnya seperti di kota-kota lain
ucapan selamat tinggalnya membawa
kembali rasa,
cuaca dan lumrahnya
sebuah perjalanan, jika bisa kupelihara
makna pengalamanyang mengilhami ikatan
leluhur yang luhur.
Kota Kinabalu, Sabah.
[2]Kota Pontianak adalah ibukota provinsi Kalimantan
Barat, Indonesia. Kota ini dikenal sebagai
Kota Khatulistiwa karena dilalui garis khatulistiwa. Di utara kota Pontianak,
tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwayang dibangun pada tempat yang
dilalui garis khatulistiwa. Selain itu, Kota Pontianak dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai itu diabadaikan
dalam lambang Kota Pontianak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pontianak)
[3]Opu Daeng Menambun (1695-1763)
adalah abang yang kedua daripada lima adik-beradik bangsawan Bugis Luwu dari Sulawesi, yang pernah menubuhkan dominasi
politik ke atas para diraja di Alam
Melayu.Dalam pengembaraannya, Daeng Menambun melawat ke Sukadana, Kalimantan
Barat, di mana beliau berkahwin dengan Puteri Kesumba, cucu
perempuan Panembahan Senggaok raja Kerajaan Mempawah, ia juga anakanda kepada
Sultan Sultan Muhammad
Zainuddin dari Kerajaan Tanjungpura.Daeng Menambun kemudian berpindah
ke Mempawah, dan tahun 1740 menjadi rajanya dengan sebutan Panembahan
Mempawah, dengan gelaran Panembahan Pangeran Mas Surya
Negara (1740-1761). Makam Daeng Menambun terdapat di Sebukit Rama, Kampung
Pasir, Mempawah Hilir, Pontianak, Kalimantan
Barat.(https://ms.wikipedia.org/wiki/Daeng_Menambun)
[4]Tak hanya di Semenanjung.
Di bagian Malaysia yang lain, di Kalimantan Utara, orang Jawa juga tercatat
membangun permukiman. Di Sabah dan Serawak buruh-buruh Jawa sengaja didatangkan
untuk mengisi kekurangan buruh Cina di perkebunan-perkebunan tembakau setempat,
mulai 1882. Proses ini berjalan sampai datangnya Perang Dunia II. Lalu ketika
kontrak habis, mereka memilih untuk tidak kembali ke Jawa. Karena itulah di
Sarawak terdapat kampung Jawa, Kampung Surabaya, dan Kampung Gresik. Jumlah
Jawa-Jawa itu, ketika diadakan sensus tahun 1947, 2.397 jiwa ditambah
sekitar 237 yang menetap di Brunei.
[5]Khatulistiwa ialah satu bulatan khayalan yang dilukis
pada separuh jarak antara kedua-dua kutub planet atau objek astronomi yang lain. Garis bulatan ini membahagikan planet
menjadi dua bahagian, iaitu Hemisfera Utara dan Hemisfera Selatan. Menurut takrif, garisan lintang khatulistiwa ialah 0°. Panjangnya khatulistiwa Bumi ialah kira-kira 40,075.0 kilometer, atau 24,901.5 batu. Khatulistiwa merupakan salah satu daripada lima bulatan latitud yang utama, berdasarkan hubungan antara putaran Bumi
dengan satah orbit yang menyelilingi matahari. Selain itu, khatulistiwa ialah garisan latitud tunggal yang
juga merupakan bulatan besar. Dalam pergerakan bermusim melintasi langit, matahari lalu secara langsung di atas khatulisiwa sebanyak
dua kali setahun pada ekuinoks Mac dan September. Di kawasan khalistiwa, sinar matahari adalah serenjang
dengan permukaan bumi pada kedua-dua tarikh tersebut. Tempat-tempat yang
berhampiran dengan khalistiwa mengalami kadar matahari terbit dan matahari terbenam yang paling cepat di dunia, dengan masa hanya
beberapa minit. Tempat-tempat tersebut mempunyai jangka siang/malam yang
lebih kurang sama setiap hari pada sepanjang tahun, berbanding dengan
tempat-tempat yang terletak lebih di utara atau selatan. (https://ms.wikipedia.org/wiki/Khatulistiwa)
[6]Kakek Rais,
selepas perang menetap di Kampung Hulu Lumadan, Beaufort Sabah, meninggal dunia
pada tahun 1980.
[8] Kota Mempawah adalah
Ibu kota Kabupaten Mempawah yang memiliki julukan kota
Bestari atau Bumi Galaherang dengan luas 264,40 km2. Kota ini terletak di jalur
perdagangan antara Pontianak,Singkawang dan Sambas. Kota ini terdiri dari 2
kecamatan yaitu Mempawah Hilir dan Mempawah Timur. Kota ini bukan lah kota madya
melainkan hanya kota kabupaten di provinsi Kalimantan Barat.kota ini di belah oleh
sungai Mempawah yang membagi kota ini menjadi 2 bahagian iaitu hilir dan timur. (https://id.wikipedia.org/wiki/Mempawah_(kota)).
[9]Lima
Bersaudara yang pernah menggegarkan arena sosio-politik Dunia Melayu sekitar
tiga abad yang lalu ini merupakan putera-putera kepada Opu Tendriburang Daeng
Rilaka putera kepada Raja La Maddusalat, yang dikatakan merupakan
raja Bugis pertama memeluk Islam menurut kitab Tuhfat al-Nafis dan Salasilah
Melayu dan Bugis wallahualam bissawab (kedua-duanya karya Raja Ali Haji).
Ditakdirkan Allah, Opu Daeng Rilaka mangkat ketika dalam
perjalanan pulang dari tanah Kemboja, meninggalkan lima orang puteranya di
Pulau Siantan yang kesemua mereka sudah akil baligh. Sebelum ini mereka telah
terdedah dengan cabaran dan pengalaman di perantauan yang menjadikan lima
beradik ini lebih berani, tabah, bersemangat kental dan gigih beradu nasib di
negeri orang. Kegigihan dan keberanian mereka, ditambah lagi dengan ikatan
kekeluargaan yang sangat kuat di kalangan mereka ibarat air dicincang takkan
putus dan bukan sekadar ikatan yang biasa-biasa sahaja inilah, menjadikan
mereka antara legenda bersaudara paling diingati dan disanjungi dalam sejarah
Alam Melayu sepanjang zaman.(https://web.facebook.com/thepatriots2020/posts/450299345164096:0)
[10]Salah sebuah
ladan getah yang besar di Sabah sejak tahun 1940-an.
[12] Istana ini tidak jauh
hanya lebih kurang 15 minit dari pusat kota. Terletak di Kampung Dalam Bugis,
Pontianak Timur. Di dalam bangunan dapat ditemui peninggalan-peninggalan
kerajaan seperti kerusi singgahsana, pakaian, cermin pecah seribu, keris, meja
giok, meriam dan sebagainya. Keraton Pontianak berukuran 30 x 50 meter, keraton
terbesar di Kalimantan Barat. Terbuat dari kayu belian dan dibangun oleh
pendiri kota Pontianak, Sultan Syarif Abdurrahman pada 1771. Bangunan tua
yang cukup megah ini dilapisi cat kuning yang melambangkan kebesaran kerajaan
Melayu. Berhadapan dengan bangunan keraton terdapat masjid Jami yang dibangun
hampir bersamaan.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan