Sabtu, Julai 12, 2014

Penulis kreatif dan pengolahan kata

WRITING is adventure – menulis adalah petualangan, demikian kata Ernest Hemingway, sasterawan besar Amerika yang karya-karyanya ditandai dengan jiwa-jiwa dan nafas petualangan. Pendapat ini didukung oleh para pengagumnya, khususnya para sasterawan Amerika Latin (misalnya Pablo Neruda dan Gabriel Gracia Marquez) dan sasterawati Afrika Selatan Nadine Gordimer serta Milan Kundera, sasterawan Cheko. Saya sebagai pengagum Hemingway, juga merasakan hal tersebut: menulis adalah petualangan. 

Yang dimaksud dengan ‘petulangan’ di sini adalah bukan petulangan secara raga, melainkan paduan dari kekayaan batin dan intelektual, imajinasi (kreativiti dan pengembangan) serta kosa kata (penguasaan bahasa). Paduan itu dirangkai menjadi suatu tulisan melalui proses yang disebut proses kreatif.

Dalam Kamus Besar Dewan, kata ‘kreatif’ bermaksud memiliki daya cipta; atau memiliki kemampuan untuk menciptakan. Jadi, proses kreatif adalah proses mencipta sesuatu dan konteks dalam tulisan ini adalah mencipta tulisan atau menulis, baik  tulisan yang bersifat fiksi maupun non-fiksi. Mereka yang menulis fiksi disebut pengarang dan mereka yang menulis non-fiksi disebut penulis. Seorang penulis boleh menjadi pengarang, tetapi pengarang pada umumnya sedikit yang menjadi penulis. Hambatnnya, menjadi penulis diperlukan topangan rujukan yang lebih luas dan mendalam, apalagi bila yang bersangkutan menulis tulisan yang bersifat ilmiah. Tetapi bukan bererti bahawa menjadi seorang pengarang itu lebih mudah dibandingkan menjadi penulis. Sebab, baik untuk menjadi pengarang maupun penulis, keduanya memerlukan modal utama iaitu memiliki dorongan yang kuat untuk menulis (the strong will to write) atau dalam jargon penulisan kreatif  disebut ‘lapar menulis’ (tidak sekadar haus). Dapat dibayangkan, bagaimana jika kita lapar (kelaparan) harus makan. Tentunya, jalan apa pun ditempuh, bukan? Matlamatnya adalah makan, harus makan. Dalam kes ‘lapar menulis’, jalan apa pun ditempuh, it’s goal is do writing. 

Jadi, jika kita ingin menjadi penulis atau pengarang, untuk mencapainya adalah menulis – 'do writing, do it soon, very soon, don’t be postponed'. Sayangnya, ramai pihak yang ingin menjadi pengarang atau penulis tetapi hanya sebatas ‘ingin’ kerana tidak juga menulis. Alasannya, sulit memulai, tidak punya waktu, takut salah, malu atau tidak ada inspirasi atau idea yang sesuai untuk ditulis. Akhirnya, proses menulis pun tertunda.

Benar, untuk memulai menulis memang memerlukan proses kreatif iaitu dimulai dengan adanya idea (kekayaan batin dan intelektual) sebagai bahan tulisan. Pengalaman saya, idea itu diperolehi setiap saat, bila mahu menulis. Sumber utamanya adalah bacaan, pergaulan, perjalanan, kontemplasi, monolog, konflik dengan diri sendiri mahupun dengan di luar diri kita (external), pemberontakan (rasa tidak puas), dorongan mengabdi, kegembiraan, mencapai prestasi, tuntutan profesion dan sebagainya. Semuanya itu dapat dijadikan gerbang untuk mendorong memasuki proses kreatif menulis. Kuncinya adalah punya hasrat yang kuat untuk menulis yang sebelumnya telah saya sebut sebagai 'the strong will to write' sebagai modal utama untuk mulai menulis.

Modal kedua, adalah berkomitmen disertai disiplin untuk menulis. Antara lain mempuyai jadual tetap untuk menulis dan rajin mengumpulkan idea-idea yang akan ditulis. Kedua hal tersebut perlu ditaati agar proses kreatif tidak terputus. Sayangnya, kadang kegiatan rutin yang wajib kita kerjakan membuat kegiatan menulis jadi tertunda atau terbengkalai sehingga tulisan tidak pernah menjadi suatu karya. Untuk menyiasatinya, maka perlu menulis di pagi hari (dini hari) atau malam (hingga larut malam, menjelang pagi). Baik juga memanfaatkan waktu luang pada hujung minggu atau hari libur. Yang penting, ada waktu khususnya untuk memberi ‘ruang’ proses kreatif yang kemudian dituangkan dalam bentuk tulisan.

Proses kreatif menulis akan terwujud dengan baik apabila adanya konsentrasi untuk menulis, menghimpun materi yang akan ditulis, pengembangan materi yang akan ditulis (mapping mind – menulis dalam kepala). Selain daripada itu tumpuan juga diberikan terhadap perlunya dukungan rujukan dan saranan menulis, membuat deraf yang akan ditulis juga tentukan fiksi atau non fiksi. Bila diperlukan, diskusi dengan teman untuk membicarakan tulisan akan ditulis.

Ini ditambah lagi dengan menyusun jadual untuk menulis disesuaikan dengan jam produktif, kemudian  bersedia siap menulis tanpa keraguan atau kebimbangan. Maknanya harus bersungguh-sungguh. Menulis bukanlah sekadar membuat kalimat, melainkan diperlukan kemampuan mengolah kata. Kata-kata yang diolah juga bukan sembarang kata, melainkan kata-kata yang telah dipilih (terpilih) untuk dijadikan media menulis. Kata-kata yang dipilih ini akan membuat tulisan baik atau buruk, menarik atau membosankan dan mudah atau sulit difahami pembacanya.

Dalam teori penulisan kreatif, untuk menjadi seorang penulis atau pengarang, pertama-tama harus mampu memilih kata-kata yang akan dijadikan media tulisannya. Kerana, kata-kata ini merupakan senjata utama bagi penulis atau pengarang untuk ‘menaklukkan’ pembaca. Agar dapat memilih dengan leluasa, maka setiap pengarang/penulis wajib kaya atau punya koleksi kata-kata tak terbatas, untuk dirangkai menjadi kalimat.

Pengkayaan kosa kata dapat diperoleh dari bacaan, kamus, pergaulan dan penguasaan beberapa bahasa asing. Penggunaan kosa kata ini tergantung pada keperluan masing-masing (menulis untuk fiksi atau non-fiksi). Tentunya, keperluan pengarang dengan penulis berbeza. Masing-masing punya jargon dan gaya tersendiri. Meskipun demikian, mereka ini punya goal yang sama: tulisannya ingin dibaca pembaca sebanyak dan seluas mungkin. Oleh kerana itu, setiap penulis dan pengarang pada waktu menulis telah memikirkan siapa sasaran pembacanya sehingga tidak salah ‘tembak’.

Tulisan yang menarik samada fiksi mahupun non-fiksi bagi pembaca, yang utama adalah mudah difahami. Ada pun yang membuat sebuah tulisan itu mudah difahami, karya ditulis dengan kata-kata yang mudah difahami pembacanya yakni tidak banyak menggunakan istilah asing dan jargon-jargon tertentu yang tidak diketahui awam. Apabila ada kata-kata asing atau jargon-jargon tertentu, buat penjelasannya. Karya ditulis dengan kalimat pendek (idealnya 10 – 15 kata, bila lebih dari itu harus ditanda dengan tanda baca yang ketat, agar pembacanya tidak tersiksa). Alur kalimat ditulis linier tidak bersifat ‘labirin’ (bertele-tele), sehingga tulisan terasa mengalir. Tidak ada pengulangan kata-kata dan tidak banyak kata sambung seperti: lalu, kemudian, karena, jadi dan sebagainya.

Untuk tulisan ilmiah hindari penggunaan kata-kata bersayap dan data yang tidak jelas. Untuk tulisan non-fiksi hindari penggunaan kata yang sifatnya memberi kesan ‘kering’. Kata bersayap diperlukan, juga bunga kata asal tidak berlebihan. Isi tulisan tidak menggurui, tetapi memaparkan atau menjelaskan sekalipun itu tulisan yang bersifat ‘pengajaran’.
Selain tulisan dengan struktur susunan kata menjadi kalimat yang runtut dan faragraf  yang tertata, sehingga tulisan mudah dicerna pembacanya. Mampu menggunakan tanda baca (dalam tulisannya) dengan tepat. Mencari pembaca sebelum tulisan diterbitkan untuk minta pendapatnya (jika diperlukan). Banyak membaca buku-buku yang disukai pembaca untuk dipelajari bahasa dan gaya penulisan para penulis atau pengarang buku-buku yang banyak penggemarnya walaupun masing-masing penulis atau pengarang idealnya punya ciri khas tersendiri.

Kemampuan mengolah kata-kata untuk dirangkai menjadi kalimat tidak bisa dimiliki oleh siapa pun dalam waktu sekejap. Melainkan, memerlukan latihan yang panjang dengan cara terus menulis dengan jadual tertentu. Bahan yang ditulis boleh apa saja, termasuk catatan harian. Kerana menulis merupakan ‘petualangan’ yang tidak terbatas dan itu jelas menyenangkan.

Agar bentuk tulisan terus terwujud, hindari membaca tulisan yang sedang dikerjakan. Sebab, hal ini akan menimbulkan keragu-raguan kerana merasa tidak sempurna. Sehingga tulisan akan diulang-ulang dan akhirnya tidak mejadi. Maka, sebaiknya tulisan dibaca bila telah selesai ditulis (kecuali menulis novel, perlu dibaca bab per bab).

Selain itu juga diperlukan memampuan mengedit (menyunting) tulisan sendiri. Penyuntingan ini berguna untuk menyesuaikan panjang tulisan dengan ruang yang akan dipergunakan untuk menyiarkan tulisan tersebut. Penyuntingan juga membantu dalam penyempurnaan kalimat, menciptakan peluang untuk mengkaji isi tulisan, gaya bahasa dan pemilihan kata-kata di samping itu ada peluang menciptakan daya tarik seoptimal mungkin untuk pembaca. Akhirnya, akan menonjolkan ciri khas gaya tulisan dan meletakkan tulisan yang ditulis benar-benar matang.


PUSTAKA IQBAL NAZIM

Sastera Multimedia



ANDAI diawali dengan kelisanan sebagai wahana utama untuk memasyarakatkan karya sastera, ia sudah melepasi zamannya. Kelisanan sebagai tradisi sastera tidak lagi diamalkan sesudah tampuknya diambil oleh tradisi persuratan atau penulisan. Dunia sastera berkembang selaras dengan inovasi mesin cetak dan lahirnya buku-buku, majalah dan sebagainya. Namun begitu tradisi ini juga sebenarnya berhadapan dengan aliran baru dan keunikan baru dalam dunia lalu lintas sastera. Kewujudan teknologi maklumat memberi pilihan baru kepada masyarakat dalam menikmati bukan sahaja karya sastera tetapi sumber informasi, hiburan dan pembelajaran.

Integrasi media dalam teknologi maklumat jauh lebih kompleks dan menuntut perubahan dan inovasi dalam laluan sastera itu sendiri. Internet membuka kepada interkasi sosial yang lebih terbuka menerusi facebook, blog, google plus, twitter, instagram, dan segala macam pembaharuan lain. Pembaharuan ini memerlukan sastera bergerak seiringan agar ia kekal dinamik dan terbuka untuk semua. Buku-buku yang hanya terpenuhkan foto dan teks berganti dengan laman yang diselimuti multimedia. Keseronokan dan interaksi menjadi pemangkin kepada populariti dunia siber dan multimedia. Sastera harus dibangunkan dalam bentuk baru yang lebih praktikal agar dapat bersama dalam arus pembaharuan. Ledakan persuratan menggantikan kelisanan sudah dilihat sebagai suatu pembaharuan yang amat menuntut kepada dimensi dan gaya baru persembahan sastera. Apa lagi kehadiran multimedia ia memerlukan perubahan yang ketara dalam penikmatan dan penghasilan karya sastera. Jika perubahan ini gagal ditangani sastera akan terhindar dari lalu lintas zaman yang berubah.

Kita harus memikirkan bagaimana sastera berdaya maju dalam tatapan khalayak. Sastera harus dibawakan ke alam siber dengan bentuk dan dimensi baru. Alam multimedia yang hadir sekarang memerlukan sastera dihidangkan dalam dimensi yang lebih mudah dan fleksibel. Kesedaran inilah yang memungkinkan Kesusasteraan Melayu Komunikatif melalui Kertas 3 membawa dimensi baru dalam pembelajaran sastera iaitu Multimedia Dalam Sastera. Kita harus benar-benar memahami konsep dan fungsi kedua-dua bidang ini. Pertama fungsi sastera sebagai bahan yang mahu disampaikan. Kedua, fungsi multimedia sebagai wahana baru penyampaian sastera.

Kita harus memahami bagaimana ciri-ciri multimedia itu sejauhmana ia dapat berfungsi mengangkat karya sastera sebagai bahan atau isinya. Keupayaan multimedia membawa dua elemen penting iaitu audio dan bunyi atau muzik sekaligus adalah cabaran dunia teks yang hanya tulisan selama ini. Elemen baru ini perlu dikuasai untuk membina khayalak dan kepentingan sastera tidak terjejas. Malah keupayaan interaktif yang ada dalam multimedia juga harus menjadi upaya yang dapat membawa dimensi baru penikmatan karya sastera. Malah dalam pembelajaran sastera, barangkali keupayaan multimedia dan kemampuan interkatif ini akan mengurangkan keperluan guru bersama pelajarnya. Atau upaya baru ini amat memerlukan kreativiti dan inovasi yang dapat meletakkan sastera sebagai subjek yang popular dan diminati.

Sebagai perbandingan mudah: suatu latar dalam karya sastera yang memberi gambaran kehidupan di kaki gunung Kinabalu. Ia dilatari oleh hiasan kata-kata pengarang dalam novel atau cerpennya. Pembaca hanya menikmati karya berkenaan daripada sudut pandang yang diberikan pengarang. Tetapi kehadiran dunia multimedia membolehkan foto kaki gunung Kinabalu dipaparkan dalam foto dan video. Segala yang selama ini sukar dibayangkan akan mudah dilihat dan difahami oleh pembacanya. Ditambah pula dengan muzik yang menggambarkan masyatakatnya maka pengalaman yang terpapar dalam novel atau cerpen tadi diperkayakan dengan muzik, foto dan video yang berinformasi. Inilah elemen baru yang dapat membina kesan baru dalam penikmatan dan pembelajaran sastera. Pelajar mudah mendapat informasi yang jauh lebih luas dari dunia teks itu sendiri. Minat dan keinginan untuk mengkaji dan membaca sudah pasti dapat ditingkatkan. Malah ada yang berpandangan bahawa melalui multimedia dunia luar boleh dibawa ke bilik darjah dengan mudah. Interaksi antara pelajar dengan karya sastera menjadi lebih luas dengan adanya multimedia. Apa yang pelajar baca ditambahkan dengan multimedia berupa foto, video dan muzik yang membantu pelajar. Disebut juga bahawa kemahiran pelajar juga berpindah daripada hanya membaca kepada mendengar, melihat, dan menambahkan kemahiran kognitif mereka.

Dalam kajian sastera Kertas 3 Kesusasteraan Melayu Komunikatif, prinsip multimedia yang harus dikuasai meliputi teks, grafik, audio visual, dan animasi. Kita harus memahami prinsip berkaitan dalam pembinaan bahan multimedia sastera. Kita juga harus memahami peranan dan kepentingan papan cerita (story board) dalam penghasilan multimedia. Episod cerita, puisi, atau bahan prosa lain perlu diteliti dengan mendalam untuk melihat bagaimana konteks penceritaan dari sudut inti cerita dan kefahamannya. Dari sinilah bertolaknya penghasilan kerangka papan cerita. Bagaimana episod tadi diterjemah ke dalam papan cerita sebagai kerangka baru penghasilan multimedia. Sesudah tersedia papan cerita maka elemen-elemen pengisian untuk menjadikan episod atau puisi yang terpilih sebagai hasilan multimedia tadi dikaji. Apakah penceritaannya memerlukan animasi, grafik atau video? Bagaimana pula kesan audio visual yang digunakan sama ada bersesuaian atau tidak? Bagaimana pula dari sudut saiz teks dan fon yang digunakan? Apakah kaedah teks itu digerakkan atau dianimasikan dalam bahan multimedia? Jika memerlukan animasi grafiknya bagaimana warna yang dipilih agar bahan menarik dan berkesan. Demikian secara ringkas antara keperluan dan kemahiran yang perlu ada dalam melahirkan multimedia sastera.

Keperluan lain dalam penghasilan multimedia bukan sekadar merubah atau mengadaptasi karya sastera berbentuk tulisan kepada multimedia semata-mata. Kita harus mengutamakan juga tujuan pengarang menghasilkan karya sastera. Ada elemen yang tersurat yang dapat diterjemahkan dalam teks. Ada pula elemen tersirat yang harus turut dinikmati audien sekiranya ia berubah kepada multimedia. Kita sering mendengar keluhan bahawa novel yang baik setelah diterjemah ke dalam media baru seperti filem banyak kehilangan elemen seni dan roh sasteranya. Penikmatan karya menjadi amat berbeza dan memberi kesan berbeza dari novel asalnya. Jika ditinjau dari sudut pembelajaran pula, bagaimana multimedia tadi dapat membantu kefahaman dan penghayatan pelajar dalam dimensi baru itu? Kesan-kesan sastera dan seni sastera tidak harus dikorbankan semata-mata kerana adaptasi. Penghasilan dari sudut pembelajaran adalah diharapkan ia dapat membantu kefahaman teks secara lebih bermakna. Ia diharap dapat membina keyakinan dan kesoronakan pelajar menikmati karya sastera. Yang penting adalah keupayaan bahan multimedia membuka ruang pemikiran, dan kesedaran pelajar terhadap unsur-unsur sastera yang dikaji. Pelajar dapat melihat dan mengesan secara kritis apa yang selama ini tidak dapat ditemui dalam pembacaan.

Antara kepentingan yang diharap dapat membantu pelajar dalam penggunaan multimedia adalah: Keupayaan multimedia membantu pelajar memahami dunia pengarang. Melalui pendedahan dengan bahan bantu secara multimedia pelajar dapat memahami pemikiran pengarang serta karyanya. Pelajar juga dapat menikmati karya sastera dengan lebih mudah apabila mereka dapat akses kepada rujuan lain seperti biodata pengarang, istilah sastera, dan makna kosa kata dalam karya sastera. Pelajar dapat memahami latar dengan mudah melalui foto dan video. Ini membolehkan pelajar dapat menimba pengalaman yang sama sebagaimana pengalaman pengarang ketika menghasilkan karya sastera. Pelajar juga dapat menikmati karya sastera dari pelbagai perspektif seperti diperdengarkan bagaimana teks sastera itu dibaca atau dideklamasi, serta keupayaan melihat dimensi lain seperti perspektif ekonomi, sosial, dan sejarah dalam karya berkenaan. Bahan-bahan bantu ini antara yang penting untuk menjadikan multimedia lebih relevan dengan teks semata-mata.

Pandangan ini adalah sebagai dimensi yang harus difikirkan dalam penggunaan multimedia dalam sastera. Meskipun tujuan bahagian ini diketengahkan kepada pelajar adalah untuk membolehkan pelajar menghasilkan bahan sastera menggunakan multimedia, tetapi pengetahuan tentang kepentingan multimedia dalam pendidikan juga harus diperolehi. Ia sebagai langkah pertama ke arah penghasilan bahan sastera mengunakan multimedia.

Kita harus bergerak dalam perubahan ini. Sastera harus dinikmati dengan gaya baru dan wahana baru yang lebih berkesan. Kita tidak harus biarkan sastera tertinggal dari arus pembaharuan ini sebaliknya berupaya membina dimensi yang lebih efektif dengan pembaharuan yang ada.
 

PUSTAKA IQBAL NAZIM