Rabu, Oktober 05, 2022

PUISI PROTES ALA MALAYSIA

Oleh : Viddy Ad Daery *) Pengembara Duta Airmata Bangsa.
3 Disember 2014

Dalam pertemuan sastra “Dialog Budaya dan Sastra, Lintas Bangsa Lintas Generasi” yang diadakan oleh PSBNS ( Perhimpunan Sastrawan Budayawan Negara Serumpun ) pimpinan DR.Free Hearty alias Bundo Free baru-baru ini di Bandung, saya mendapat hadiah satu antologi puisi mungil karya penyair sahabat saya, Hasyuda Abadi dari Sabah, Malaysia.

Buku puisi itu berjudul “SUARA YANG TERBUKA” terbitan ITBM Kuala Lumpur, satu lembaga baru yang nampaknya akhir-akhir ini berusaha cergas dinamis menyalip lembaga DBP yang sudah berusia hampir sama dengan usia kemerdekaan Malaysia, dimana kalau diperbandingkan dengan Indonesia, maka DBP hampir setara dengan Pusat Bahasa, sedangkan ITBM hampir setara dengan Balai Pustaka.

Dua-dua atau empat lembaga yang diperbandingkan itu, dalam hal penyedotan dana anggaran dari negara hampir sama besar, tetapi dari segi wujud, barangkali bagaikan bumi langit.

DBP dan ITBM mempunyai gedung teramat megah, dan yang penting, hasilnya sangat dinikmati manfaatnya bagi para sastrawan dan penulis Malaysia, sehingga mereka rata-rata hidup mapan dan mewah terjamin hingga masa tua.

Sebaliknya, yang lembaga di Indonesia, mungkin hanya bisa dinikmati segelintir atau 10 % dari seluruh sastrawan Indonesia, tetapi 90%nya hanya dinikmati oleh para pegawainya sendiri yang hidup mewah berlimpah uang negara yang dipakai kegiatan-kegiatan sendiri dan tak ada manfaatnya bagi bangsa.

Sudah begitu, gedung-gedung mereka tua dan lusuh, seakan-akan mereka tak pernah mendapat guyuran dana renovasi gedung. Pokoknya kalau saja kita andaikan ada seorang penyair berandalan Indonesia  hanya mempunyai satu puisi berisi teriakan “Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing……!!!!” maka teriakan puisi tunggal itu sangat layak dialamatkan kepada mereka. Dan itu menurutku, lebih bagus daripada ratusan puisi gelap yang dimuat di KOMPAS, KORAN TEMPO, MEDIA INDONESIA, dan 90 % Koran Indonesia pemuja sastra gelap selama hampir 15 tahun ini , terutama semenjak era reformasi.

PROTES ALA HASYUDA ABADI

Nah, kembali membahas buku puisi Hasyuda Abadi, “Suara yang Terbuka”….kalau dialihbahasakan ke bahasa Indonesia, artinya adalah PROTES YANG TERUS TERANG.

Tetapi dibandingkan satu puisi berjudul “Anjiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiing…!!!” tadi, tentu puisi penyair anjing tadi lebih mantap dan bertenaga dobrak dibanding seluruh puisi dalam kumpulan “Suara yang Terbuka” ini.

Tetapi Malaysia adalah Malaysia dan Indonesa adalah Indonesia, jadi memperbandingkannya tentu tidak bisa sesederhana itu.

Malaysia adalah negara yang hasil bumi dan kekayaan negaranya dikelola oleh para pemimpinnya secara baik dan amanah, digunakan untuk mensejahterakan rakyatnya. Jadi tentu sia-sia, kalau seorang penyair Hasyuda Abadi kita tuntut untuk memprotes dan melabrak pemerintahnya. Apa salah pemerintah Malaysia ?

Sebaliknya, Indonesia adalah negara superkaya, yang kekayaannya dijadikan pesta rusak-rusakan antara para maling-maling keturunan bangsa asing dan para pemimpin pribumi berjiwa anjing. Sedangkan rakyatnya dibiarkan miskin kesrakat dan mati kelaparan persis peribahasa ayam mati di lumbung padi.

Jadi, seandainya puisi-puisi Hasyuda Abadi dan bahkan semua penyair Malaysia hanya berisi puisi puja-puji bagi pemimpinpun, apa salahnya ? Bahkan sangat layak dan bisa dimengerti.

Tetapi toh Hasyuda Abadi tidak melulu melakukan itu, meski satu dua puisinya ada pula yang merupakan sastra puja, misalnya puisi “Februari Sebuah Puisi” yang merupakan satu elegi buat Gemulah Umi, dan atau puisi “Gizi Zaman” yang ditujukan kepada Haji Ariffin Arif, mantan penyair andalan Sabah yang kini menjadi Menteri Sabah.

Dan meskipun puisi puja-puji, puisi Hasyuda Abadi tidak berformat ala “Puisi 17-Agustusan” seperti di Indonesia, melainkan sebuah senandung bayu merayu, misalnya kuplet ini :

Membakut disebut arif

Arif didendang alif

Biar dondangan ini merakyat

Mengakrab ariffin yang jernih mengalir

Menjunjung ( tugas ) khalifah bumi

( “Gizi Zaman” halaman 39 ).

Maka, puisi protes Hasyuda , sememangnya adalah protes kepada kemanusiaan, kepada manusia yang lupa bersyukur, kepada manusia yang sombong, kepada manusia yang serakah, kepada manusia yang tak tahu diri,  kepada manusia yang tidak menjalankan tugas yang diberi Allah sebagai “Khalifah fil ardhi” , kepada manusia yang suka merusak lingkungan hidup, kepada para pejabat dan pemimpin politik yang tidak amanah, yang tidak meneladani para pemimpin besar mereka yang adil dan bijaksana.

Kita ambil contoh kuplet ini :

Kalian hanya tahu air tapi tak pernah menyelami dasarnya

Kalian hanya kenal padang tapi tak pernah berlari pada keluasannya

Kalian hanya kenal matahari tapi tak pernah bersyukur keindahan pada cahayanya

( Memberi Luka, halaman 38 ).

Puisi tersebut adalah protes kepada bangsa-bangsa asing di Malaysia, yakni etnis cina dan india kafir yang pernah membuat kehebohan besar melarang terbitnya novel “Interlok” karya sastrawan besar Malaysia pribumi Melayu, yakni Abdullah Hussain, karena konon menurut orang-orang kafir cina dan india itu, dalam novel  bermutu itu, terdapat sedikit kalimat yang menyinggung SARA dalam pandangan mereka.

Tetapi yang tak pernah diungkap adalah, dalam karya-karya tulis orang-orang kafir itu, penuh sekali dengan muatan-muatan yang menghina kaum pribumi dan mencaci-maki serta merendahkan agama Islam, seperti yang sedang berlambak-lambak di Indonesia hari ini.

Itulah kerenah atau ulah degil orang kafir, di mana-mana saja, apalagi di Indonesia, tempat kekafiran tumbuh subur dan dilindungi pemerintah rezim hari ini !!!!!



Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Puisi Protes Ala Malaysia", Klik untuk baca:
https://www.kompasiana.com/viddydaery/54f3b1bd745513a42b6c7d74/puisi-protes-ala-malaysia

Kreator: Viddy Daery



Kompasiana adalah platform blog, setiap konten menjadi tanggungjawab kreator.

Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com



**Viddy wafat di Rumah Sakit Muhammadiyah Lamongan Senin (23/11/2020) dini hari dalam usia 59 tahun

Tiada ulasan: