Rabu, Oktober 05, 2022

BUKU PUISI HASYUDA ABADI, SUARA YANG TERBUKA

Oleh Narudin
Narudin
Suara yang terbuka ialah nama lain dari suara yang terdengar “nyaring”. Begitulah judul buku puisi Hasyuda Abadi, penyair senior Malaysia, Suara yang Terbuka: Kumpulan Puisi (Kuala Lumpur, 2014).
Buku puisi ini dibagi ke dalam tiga bagian subjudul: 1) Suara yang Terbuka (mengandung 24 puisi), 2) Luka-luka Sejarah (mengandung 16 puisi), dan 3) Mimpi Sejarah (mengandung 29 puisi). Pembagian ini tentu saja hanya sekadar pembagian puisi secara tematik yang longgar. Pada hakikatnya, puisi-puisi Hasyuda Abadi saling berkaitan pesannya satu sama lain.

Simaklah puisi berikut ini.
SUARA YANG TERBUKA
Bagaikan jendela yang terbuka pada suatu pagi
di hadapanmu padang lapang yang saujana
kaudengarkah bisik rama-rama
yang bersahabat pada hijau daun
atau semut-semut beriringan menyapa sahabatnya
dari akar ketapang hingga ke bumbung banglo
melakar sukma menganyam pengertiannya.
Jilbab malu menyapa cahaya dari bingkai jendela
Sunyimu telah tiba menerima suara
Apakah begitu bersedia menjadi ramah
Menyambut sebuah salam dan catatan bersulam
Katamu itulah rindu tersipu menambat mimpi-mimpinya.
Bagaikan rahsia yang ingin dipersembahkan
Menikmati nyanyi merdu sunyi
Dewan sukma menanti tiba salam
Terang di hadapan lorong suara yang terbuka
Mohon menyambutnya dengan rahsia bahagia.
Kuantan-KL-KK
22 Januari 2013
Jika diperhatikan secara khusyuk, puisi di atas memang tetap menyuarakan protes sosial secara “nyaring” bagi hati para pembaca yang terjaga. Pengalihan Hasyuda Abadi pada citraan alam sekitar yang indah hanya sekadar bentuk bersembunyi dari hiruk-pikuk kehidupan sosial yang mungkin zalim di sana. Inilah yang disebut dengan gaya bahasa ironi, yaitu gaya bahasa untuk “bilang begini maksudnya begitu”. Dalam teori Semiotika Riffaterre (1980-an), ini dikenal dengan istilah “distorting of meaning” (menyimpangkan arti). Ketaklangsungan ungkapan ini disengaja oleh Hasyuda agar efek kritik mengena secara perlahan-lahan dalam imaji harmoni alam!
Perhatikan baris-baris puisi ini:
Bagaikan jendela yang terbuka pada suatu pagi/
dan,
terang di hadapan lorong suara yang terbuka/
Keterbukaan pada jendela dan lorong itu sebuah sindiran secara tak langsung tetapi “nyaring” perihal kehidupan sosial. Bukankah “monolog individual” ketika dipuisikan atau dibacakan di depan publik menjadi “dialog sosial”?
Secara keseluruhan puisi-puisi Hasyuda Abadi menampilkan kritik atau protes sosial itu—secara tematik. Jika diperiksa secara estetik, pencapaian Hasyuda Abadi sangat ramai dalam hal memilih kata-kata dan menggabungkan kata-kata itu agar kaya secara bunyi atau citra akustik (“signifier”, dalam kajian teori Semiotika). Bunyi-bunyi puisi yang kaya itu dibiarkan bernyanyi lewat nada-nadanya yang ke sana kemari dengan harapan pesan puisinya sampai kepada para pembaca. Kedua, Hasyuda Abadi mengkritik kondisi sosio-politik yang berada di negerinya dengan cara memperpanjang retorika yang berbunga-bunga, kadang lugas juga. Itu semua ia lakukan demi mengejar amanat puisinya sebagai protes kemasyarakatan. Oleh sebab itu, puisi dan prosa agak sulit dibedakan dalam buku kumpulan puisi ini, kecuali bentuk puisi Hasyuda Abadi masih mengikuti bentuk puisi konvensional (memanjang ke bawah tipografinya) tidak memanjang ke pinggir (prosais).
Untuk memahami sindiran Hasyuda Abadi sebagai protes sosial, bacalah secara utuh satu puisi lagi berikut ini. “Nyaring”-nya begitu jelas.
LUKA-LUKA SEJARAH
Jika benar besarnya suara rakyat
biar benarnya benar yang wajar
itu suara yang bergema pemimpin besar
reformasi mewarnai fikir si fakir
jangan dungukan lagi jalan diukir
di sini jalannya tidak berliku
jangan berikan liku itu
menjaja dosa-dosa yang serupa
membesarkan kebatilan
menidakkan kebenaran
berilah janji yang pasti
bukan berani memperjudi undi
suara rakyat hanyalah penyebab
pembalut luka-luka purba
yang sentiasa diseka
mendengar gema
yang sama
yang basi bisanya.
Kingwood Hotel
Mukah
15 April 2011
Lihatlah, bagaimana bentuk puisi Hasyuda Abadi senang memulainya dengan huruf besar dan diakhiri dengan tanda titik (.). Meskipun begitu, puisi di bawah ini justru menempatkan tanda titik (.) di tengah baris puisi. Ini tentu saja tanda puisi modern. Hasyuda Abadi telah membuat puisi-puisi modern Malaysia; ke-Melayu-an poetika Hasyuda Abadi berada dalam ketegangan antara konvensi dan inovasi, dari tradisi romantik kata berbunga-bunga secara fonologis, juga modernisasi realistik dengan tema-tema aktual—bukan lagi ratapan-ratapan diri yang sepi selalu.
Periksa puisi berikut secara lengkap.
SENGKETA
Satu jalan telah berbagi. Sudah sampai masanya kau bersiap untuk
memilih. Apakah kelak benar jua yang telah kaupegang? Pandang
saujana yang Tuhan berikan, bumi tak pernah rela diperbuat sengketa.
Sayang nafsu menguasai segala. Duniamu teroka api menjadi lautan
yang menenggelam. Sambil akal telah dibaham gelojoh. Satu jalan
telah berbagi dalam dendam-dendam yang tak sudah.
Di Indonesia, secara komparatif, puisi-puisi Hasyuda Abadi mengingatkan pada puisi-puisi demonstrasi Taufiq Ismail dan puisi-puisi pamflet W.S. Rendra. Namun, letak perbedaannya, Hasyuda Abadi tengah terus mendobrak tradisi puisi Melayu di Malaysia dengan bentuk puisi prosais-nya ini. Dengan demikian, Hasyuda Abadi saya sebut sebagai salah satu penyair kontemporer Sabah, Malaysia, selain Datuk Jasni Matlani, dan beberapa lagi.
Dawpilar, 25 September 2018
_____
*) Narudin ialah sastrawan, penerjemah, kritikus sastra Indonesia, dan pemenang Anugerah Puisi CSH 2018.
_____
DAFTAR PUSTAKA
Abadi, Hasyuda. 2014. Suara yang Terbuka: Kumpulan Puisi. Malaysia: ITBM
Isnendes, Chye R., Narudin, dan Toyidin. 2018. Teori Sastra Kontemporer: Formalisme, Strukturalisme, dan Semiotika. Bandung: UPI Press.

Tiada ulasan: