Sabtu, September 10, 2022

Puisi Esei : DARAH DULKASEH


(Eksklusif untuk anda, sebuah puisi esei projek pertama kompilasi puisi-puisi esei di Sabah, atas usaha Komunitas Puisi Esei Indonesa dan BAHASA di Sabah, Malaysia. Karya ini salah satunya dimuatkan dalam Antologi KEMILAU SATU LANGIT.)

ABSTRAK

Dulkaseh adalah leluhur keluarga sebelah emak, jejaka Jawa yang membawa diri dan isterinya ke Negeri di Bawah Bayu, Sabah, Malaysia. Dulkaseh adalah salah seorang kontrakan Jawa yang mengabdikan usianya di sebuah perkebunan getah selepas perang dunia pertama. 

Bersama isteri yang tercinta bernama Sawi, mereka dikurniai empat orang cahaya mata, dua orang lelaki dan dua orang perempuan. Kamsinah, anak ketiga, merupakan nenek saya yang melahirkan ibu bersama suaminya bernama Sidek. Mereka hidup dalam dunia ladang getah menghidupkan budaya masyarakat Jawa sebagai warisan yang dibawa oleh Dulkaseh. Citra kehidupan masyarakat Jawa begitu menyebati dalam jiwa anak, cucu dan cicit Dulkaseh, ini diperkasakan lagi oleh orang-orang Jawa yang datang kemudian semasa perang Jepun, yang kemudiannya mengecapi kebebasan.

Semua orang-orang Jawa yang pada mula semata bekerja di Sabah tetapi tidak kembali ke negeri asal. Termasuklah Dulkaseh. Walaupun demikian jiwanya tidak pernah melupai tanah leluhur. Darahnya tetap menggelora dalam jiwa cicitnya, ketika mengadakan lawatan ke Provinsi Pontianak, membuka kembali hubungan dua tanah besar Nusantara, Indonesia dan Malaysia melalui darah Dulkaseh.

- - - - - - - - - -

I.

Kali ini aku kembara lagi,

ke negara sahabat

ke negara saudaraku

ke negeri bangsa leluhurku

 

begitu haru mengingat sosok insan

puluhan tahun membawa diri

menjelajah laut dan rimba

hingga tiba di bumi Sabah[1].

 

Kata ibuku, namanya Dulkaseh, 

pendamping kekasihnya

Sawi perempuan tabah

menyahut ujian

melayan ketabahan

menjadi pekerja kontrakan

di mana kaki melangkahkan

di situlah jiwa disatukan.

 

Kali ini kuinjak lagi,

tanah Tuhan tanah leluhur

tanahnya yang luas

menelusuri nikmat subur

apakah lagi yang kuraih

selaih meraih ilham

ketika puluhan dekad

moyangku membulatkan azam.

 

Kukira di mana jua,

mataharinya tetap sama

zahirnya siang

membuka sejuta satu rahsia

aku lahir dari sekecil jasa

moyangku mencurah keringat

cari jauh membajai semangat

tiada lain meraih rahmat.

 

****

 

Ini kudatangi negeri matahari,

apa lagi yang kucari?

Bis menolak udara

dari Kuching yang masih sunyi

di Entikong kami diperiksai

wajib sebelum masuk ke destinasi

itulah Kota Pontianak[2]

kota khatulistiwa kota seribu sangsi.

 

Memandang ke hadapan

berbalam dalam ingatan

seribu satu ingatan

seribu satu peristiwa berdatangan

adakah lagi musykil,

dalam tanya sedari kecil

siapakah gerangan insan

leluhurku kutemui mustahil.

 

Baru kusedari

di sebelahPak Hussain Qasau

telah lama melamun

membaca fikirku yang kacau

dia tersenyum tampan

mantan wartawan kukenali mentor

dialah asli Bugis

sering berkunjung ke tanah leluhur.

 

Kukembara mengukuh jiwa

menumpu lokasi istimewa

tugu khatulistiwa pertama

istana keraton Pontianak keduanya

ziarah makam terkenal

pembesar Bugis di Mempawah

makam Opu Daeng Menambun[3]

sarat oleh sejarah.

 

Jauh dan lama berjalan

bermakna banyak terpandang

menelusuri jalan yang sempit

tetapi di situlah berpaut lapang

bukit bukau yang menghijau,

jiwaku terpukau

sungai-sungai yang akrab

mendekap cintaku yang tegap.

 

Teringat ragam rumah-rumah

teringat desa yang jauh

teringat rumah kongsi

warga kontrakan yang perkasa

sawahsedang dianyam tanaman

harum aroma lumpur

ladang getah di desaku

aromanya lebih kuakur.

 

Dan lautan rumputan di situ,

berbalam membelah masa lalu

di celahannya tompokan air

membasahi hayat nostalgia

satu persatu lembaran masa sudah

membawaku meramahinya

aku ingin mendakapmu

aku ingin bercerita padamlah luka.

 

 

 

****

 

Katanya, “aku sudah lama di sini”,

Dulkaseh meramahi kawan-kawan

di rumah kongsi yang baru sahaja tiba,

tapi tidak sepertinya Jawa kontrakan[4]

“Aku bertahun-tahun di sini,

 isteriku juga sudah dimakamkan di sini

di ladang getah Lingkungan ini

aku membesarkan Tarsih,

puteri sulungku juga Sakeh,

Kamsinah dan Sagi.”

 

Kehidupan ini tidak pernah habis

ketika bermulanya langkah

dengan besarnya impian

Dulkaseh remajanya telah siaga

berkahwin muda

dan mengembara bersamanya

meninggalkan keluarga besar

kobar semangat terlalu asa.

 

Empat orang zuriat mereka

memanjangkan sebuah bangsa

menjadi jati diri

meski pun bukan Indonesia

tetapi mereka berketurunan Jawa

berbudaya Jawa

cucut dan cicit juga membesar

dalam adab Jawa yang luhur.

 

Memberi ingatan kepada anak-anak

wibawanya yang berpada

biar di mana pun berada

jangan tinggalkan adat

perkasai identiti jati

tersemai dalam diri

anak-anaknya penerus zat

kesaksian tanpa sangsi lagi.

 

Demikian, ibuku menceritakan

moyangku  ingin kembali

tetapi Indonesia itu di kepala

sedang Malaysia itu di hati

cintanya pada Indonesia itu amat dekat

namun sayangnya pada Malaysia telah melekat.

 

Ia tidak betah meninggalkan

anak dan cucu yang bersatu

tidak bisa dibiarkan

biarlah dua ini menjadi satu

kusulam darah dari benang jiwa

kutahu warnanya sama

pabila tiba pada satu ketika

kita merai riwayat sukma keluarga.

 

 

II.

Pada garis khatulistiwa[5] ini

aku sedari tentang kesatuan jiwa

ketika mengamati sesuatu yang luar biasa,

”ini zaman yang berbeza”,

kakek Rais[6] teman nenekku,

yang membantu ketika tentera Australia

mula menyerang tentera Jepun

yang mengejami warga

 

Disaksikan bukit-bukit di belantara

kata ibu, rasa takut amat membelenggu

lubang besar telah dikorek pria muda

itulah ruang tempat bertaut

ketika tiba ledakan demi ledakan bom

seperti pagar peluru

melukai bumi datang dari banyak penjuru.

 

Kakek Rais sempat merangkul nenek

dan ibu dalam pelukannya

lalu terjun ke dalam lubang

“ya Allah selamatkanlah kami!”

“Mudah-mudahan Jepun bisa dikalahkan

mendengar doa dilepas

Nenekku Sidek melafaz dengan yakin dan puas

 

“Semoga aman semula,

biarlah Australia atau Inggeris

yang penting kita aman

dan dapat kembali bekerja.”

kakek Rais menggendong ibu,

saat masih manis

mendengar letupan demi letupan,

irama lagu perang yang menakutkan.

 

III.

Tiba hijrahnya waktu bernama usia

Atau masa lampau

yang enggan lupa

untuk segera berangkat

ketika melewati sungai Landak

memandang saujana sosok motor

dan tenat kota,

tak berhenti mendengar bingar.

 

Ingin kurungkai sejauh mana

jejak kaki melangkah

hingga kudihiburkan gudang kata

tak lagi dihirau merangkak senja

disembunyikan oleh doa-doa

di kota seribu sungai

dan keriuhan yang tak pernah usai.

 

Ketika ingatan bersahut-sahutan

di celah-celah para insan

membawa pelbagai sepanduk

diiringi zikir dan salawat

pada Rasul Junjungan dikenangi

di desaku saling menghormati

kusantuni kenangan ini

di bahuku tanggungjawab digalasi.

 

 

 

Mengalunkan salawat Nabi

berminggu Kakek Karmani[7]

membimbing kawan-kawanku

memukul kompang

dan aku menyayikan salawat

ke atas Rasul Junjungan

sungguh ketika kujauh

sosok raga pejuang kukenang.

 

Bergema desa di hari kebesaran Islam

di kota Potinanak

tidak cepat dan tidak lambat

dirai dalam keberadaan

sama melangkah

sama menunjukkan semangat

mencintai Rasulullah

di mana jua kumengingat.

 

Indonesia ini sungguh istimewa

kurangkul ke dalam qalbu

budayanyayang rencam

tetapi merimbuni insan-insan

ilmunya mekar dan ranum

bagai buah-buahan tanpa musim

dalam kental berjuang

kental dalam mempertahankan.

 

Kembara ini menjadikanku pengembala

pada kitab dan buku

saat dahulu kutahu

hanya cerita moyangku aslinya tak tahu

di sini pati sejarah nusantara

berkembang seperti dahulu

kita saling mencari tetapi menyatu

cinta tak pernah layu.

 

Telah melebar andatila masa sudah

mulai tumbuh dengan ghairah

paling tidak memperteguh

apa yang telah sedia ada

sesuai dengan jiwa kembara dan seniku

selain pengalaman

aku merasakan ilmu mendapat matlamat

dan menggebu azam menjadi azimat.

 

 

IV

 

Apakah yang akan kutemui

dari kesan-kesan sejarah?

Membawa ke Mempawah[8]

untuk langsung ke Sebukit Rama -

kusaksikan makam pembesar Bugis memerintah

bersangkut dengan Bugis lima bersaudara

keturunan Daeng Rilaka[9].

 

Di sini jasad Opu Daeng Menambun bersemadi

sebukit ini telah terlalu tua

untuk membisikkan zamannya

tetapi akar-akar yang menjalar

menyaksikan silih berganti

daun-daun masa mengajak

mencari diri sendiri.

 

Dari anak-anak tangga

kukembali membaca matahari

dahan-dahan ru dan kapur

gemalai dicumbu angin pagi

kurasai nikmat bergeming di sanubari

atas jejakku ini

mulai menerawang di sekitar

fikiran berbalam menuju silam.

 

****

 

Memang benar perang sudah berakhir

ingatanku terbang

menyaksi semua orang-orang

berumah baharu

di ladang Getah Lumadan[10] ini

hidup aman dan damai

dengan wibawa membina keluarga

memperkasa sakinahnya.

 

Mereka jauh dari tanah lahir

tak mungkin melawan takdir

ada jambatannya utuh terbina

mengamal budaya bangsa

cara kendurinya dengan upacara rewang[11]

nasi ambeng dibungkus daun pisang.

 

Aku tak fikir semua ini hadir

tanpa hadirnya leluhurku

jiran senegara ke bumi tempat lahirku

begitu mengintimi kebiasaan kehidupan

dalam pelbagai bangsa

dari generasi ke generasi

disemai di ini dada.

 

Tak mungkin kurahsiakan

bibit seniku mengalir

adalah darah seni Kamsinah

seorang penari ronggeng

sedang Sidek suaminya si tampan

pemain biola terhebat .

mereka bergabung

memberikan kebahagiaan.

 

Kepada masyarakat perkebunan inilah

seni yang dianyam

dalam kalangan masyarakat Jawa

dan kedua nenekku itu

bagai mengikat bawaan

al-marhum gemulah moyangku

darah Dulkaseh tak pernah sirna

jadi pengikat kehidupan lalu.

 

V.

Bumi Pontianak tiba-tiba basah,

bah menakluk daerah rendah,

kuredah jalan kecil

memasuki Kampung Bugis Dalam

menyimpan khazanah,

aku berfikir akulah yang bertuah

membuka lembaran sejarah.

 

Sepanjang jalan berbagi rasa,

antara gembira dan takut

akibat bahbiarlah sering mendamping

asalkan tidak membencana

anak-anak riang di bumi berkah,

aktivitiberlangsung seperti biasa.

 

Saat Sungai Kapuas mengaum,

semua warga terkagum

menyambut dengan sabar

aku menjejakkan kakiku

di istana lama Istana Kadriyah[12]

mencari sejarahnya,

mencari asal susulnya

namun di ruai pamer

dan ruang dalam hanyalah kenangan

kebesaran dan keagungan pemerintah

Yang telah berlalu

 

****

 

Seperti jambatan saling menghubungkan

ditakdirkan seni yang mendarah

mengalir juga ke urat diriku

meski aku hanya penukang kata-kata

sungguh tanah ini tetap satu

akan mengembalikan sebuah kehidupan

yang pernah hilang diintimi kembali

akulah cicitnya melangkah ke tanah leluhurnya

walau pun ia tidak akan kembali.

 

Kembara ini hanya sebahagian dari yang besar

memilih satu persatu

dalam jejak mempersatu

meski Pulau Jawa itu masih jauh

di sini langkahku sedang bermula

mencari tanpa henti.

darah Dulkaseh.

 

 

VI.

 

Gelora darah Dulkaseh begitu dirasakan

saat selepas kuberangkat

kutinggalkan Supadio Airport Pontianak

kenangan terus beranak

menyeberangi sempadan

bersama kesan persaudaraan.

 

Darah Dulkasehadalah ikatan

saat darahku kembali diulit cuaca negeri sendiri

Sungai Kapuas yang tak puas mengaum

Sungai Landak yang terus menelusuri alurnya.

 

Itulah kejapnya ingatanku

pada perjalanan moyangku

darahnya yang mengalir sepanjang jarak

kepulauan Nusantara.

 

Pontianak telah kujejaki,

riuhnya seperti di kota-kota lain

ucapan selamat tinggalnya membawa

kembali rasa, cuaca dan lumrahnya

sebuah perjalanan, jika bisa kupelihara

makna pengalamanyang mengilhami ikatan

leluhur yang luhur.

 

 

 

Kota Kinabalu, Sabah.

 



[1]Sabah ialah satu daripada 13 negeri yang terdapat di Malaysia dan merupakan negeri kedua terbesar di Malaysia selepas Sarawak yang terletak di utara pulau Borneo, iaitu pulau ketiga yang terbesar di duniaIbu negeri Sabah ialah Kota Kinabalu, yang dahulunya dikenali sebagai Jesselton. Sabah juga sering dirujuk sebagai "Negeri di Bawah Bayu" kerana kedudukan negeri tersebut yang sangat strategik di bawah laluan angin monsun

[2]Kota Pontianak adalah ibukota provinsi Kalimantan BaratIndonesia. Kota ini dikenal sebagai Kota Khatulistiwa karena dilalui garis khatulistiwa. Di utara kota Pontianak, tepatnya Siantan, terdapat Tugu Khatulistiwayang dibangun pada tempat yang dilalui garis khatulistiwa. Selain itu, Kota Pontianak dilalui oleh Sungai Kapuas dan Sungai Landak. Kedua sungai itu diabadaikan dalam lambang Kota Pontianak. (https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pontianak)

[3]Opu Daeng Menambun (1695-1763) adalah abang yang kedua daripada lima adik-beradik bangsawan Bugis Luwu dari Sulawesi, yang pernah menubuhkan dominasi politik ke atas para diraja di Alam Melayu.Dalam pengembaraannya, Daeng Menambun melawat ke SukadanaKalimantan Barat, di mana beliau berkahwin dengan Puteri Kesumba, cucu perempuan Panembahan Senggaok raja Kerajaan Mempawah, ia juga anakanda kepada Sultan Sultan Muhammad Zainuddin dari Kerajaan Tanjungpura.Daeng Menambun kemudian berpindah ke Mempawah, dan tahun 1740 menjadi rajanya dengan sebutan Panembahan Mempawah, dengan gelaran Panembahan Pangeran Mas Surya Negara (1740-1761). Makam Daeng Menambun terdapat di Sebukit Rama, Kampung Pasir, Mempawah Hilir, PontianakKalimantan Barat.(https://ms.wikipedia.org/wiki/Daeng_Menambun)

[4]Tak hanya di Semenanjung. Di bagian Malaysia yang lain, di Kalimantan Utara, orang Jawa juga tercatat membangun permukiman. Di Sabah dan Serawak buruh-buruh Jawa sengaja didatangkan untuk mengisi kekurangan buruh Cina di perkebunan-perkebunan tembakau setempat, mulai 1882. Proses ini berjalan sampai datangnya Perang Dunia II. Lalu ketika kontrak habis, mereka memilih untuk tidak kembali ke Jawa. Karena itulah di Sarawak terdapat kampung Jawa, Kampung Surabaya, dan Kampung Gresik. Jumlah Jawa-Jawa itu, ketika diadakan sensus tahun 1947, 2.397 jiwa ditambah sekitar 237 yang menetap di Brunei.

[5]Khatulistiwa ialah satu bulatan khayalan yang dilukis pada separuh jarak antara kedua-dua kutub planet atau objek astronomi yang lain. Garis bulatan ini membahagikan planet menjadi dua bahagian, iaitu Hemisfera Utara dan Hemisfera Selatan. Menurut takrif, garisan lintang khatulistiwa ialah 0°. Panjangnya khatulistiwa Bumi ialah kira-kira 40,075.0 kilometer, atau 24,901.5 batu. Khatulistiwa merupakan salah satu daripada lima bulatan latitud yang utama, berdasarkan hubungan antara putaran Bumi dengan satah orbit yang menyelilingi matahari. Selain itu, khatulistiwa ialah garisan latitud tunggal yang juga merupakan bulatan besar. Dalam pergerakan bermusim melintasi langit, matahari lalu secara langsung di atas khatulisiwa sebanyak dua kali setahun pada ekuinoks Mac dan September. Di kawasan khalistiwa, sinar matahari adalah serenjang dengan permukaan bumi pada kedua-dua tarikh tersebut. Tempat-tempat yang berhampiran dengan khalistiwa mengalami kadar matahari terbit dan matahari terbenam yang paling cepat di dunia, dengan masa hanya beberapa minit. Tempat-tempat tersebut mempunyai jangka siang/malam yang lebih kurang sama setiap hari pada sepanjang tahun, berbanding dengan tempat-tempat yang terletak lebih di utara atau selatan. (https://ms.wikipedia.org/wiki/Khatulistiwa)

[6]Kakek Rais, selepas perang menetap di Kampung Hulu Lumadan, Beaufort Sabah, meninggal dunia pada tahun 1980.

 [7]Kakek Karmani masih hidup dan masih bersama anak-anak desa memimpin kumpulan marhaban dan hadrah di desa.

[8] Kota Mempawah adalah Ibu kota Kabupaten Mempawah yang memiliki julukan kota Bestari atau Bumi Galaherang dengan luas 264,40 km2. Kota ini terletak di jalur perdagangan antara Pontianak,Singkawang dan Sambas. Kota ini terdiri dari 2 kecamatan yaitu Mempawah Hilir dan Mempawah Timur. Kota ini bukan lah kota madya melainkan hanya kota kabupaten di provinsi Kalimantan Barat.kota ini di belah oleh sungai Mempawah yang membagi kota ini menjadi 2 bahagian iaitu hilir dan timur. (https://id.wikipedia.org/wiki/Mempawah_(kota)).

[9]Lima Bersaudara yang pernah menggegarkan arena sosio-politik Dunia Melayu sekitar tiga abad yang lalu ini merupakan putera-putera kepada Opu Tendriburang Daeng Rilaka putera kepada Raja La Maddusalat, yang dikatakan merupakan raja Bugis pertama memeluk Islam menurut kitab Tuhfat al-Nafis dan Salasilah Melayu dan Bugis wallahualam bissawab (kedua-duanya karya Raja Ali Haji). Ditakdirkan Allah, Opu Daeng Rilaka mangkat ketika dalam perjalanan pulang dari tanah Kemboja, meninggalkan lima orang puteranya di Pulau Siantan yang kesemua mereka sudah akil baligh. Sebelum ini mereka telah terdedah dengan cabaran dan pengalaman di perantauan yang menjadikan lima beradik ini lebih berani, tabah, bersemangat kental dan gigih beradu nasib di negeri orang. Kegigihan dan keberanian mereka, ditambah lagi dengan ikatan kekeluargaan yang sangat kuat di kalangan mereka ibarat air dicincang takkan putus dan bukan sekadar ikatan yang biasa-biasa sahaja inilah, menjadikan mereka antara legenda bersaudara paling diingati dan disanjungi dalam sejarah Alam Melayu sepanjang zaman.(https://web.facebook.com/thepatriots2020/posts/450299345164096:0)

[10]Salah sebuah ladan getah yang besar di Sabah sejak tahun 1940-an.

[11]Rewang merupakan perkataan yang sinonim dalam masyarakat melayu jawa sejak dahulu lagi.Amalan rewang merupakan amalan yang telah diwarisi turun temurun dalam kalangan masyarakat melayu jawa.Amalan rewang adalah bersamaan dengan maksud amalan gotong-royong dan seumpama dengannya. http://asamjawe.blogspot.my/2014/01/aktiviti-rewang-orang-jawa.html  

[12] Istana ini tidak jauh hanya lebih kurang 15 minit dari pusat kota. Terletak di Kampung Dalam Bugis, Pontianak Timur. Di dalam bangunan dapat ditemui peninggalan-peninggalan kerajaan seperti kerusi singgahsana, pakaian, cermin pecah seribu, keris, meja giok, meriam dan sebagainya. Keraton Pontianak berukuran 30 x 50 meter, keraton terbesar di Kalimantan Barat. Terbuat dari kayu belian dan dibangun oleh  pendiri kota Pontianak, Sultan Syarif Abdurrahman  pada 1771. Bangunan tua yang cukup megah ini dilapisi cat kuning yang melambangkan kebesaran kerajaan Melayu. Berhadapan dengan bangunan keraton terdapat masjid Jami yang dibangun hampir bersamaan.