BOLEH dikatakan setiap hari kita berhadapan dengan daun. Paling tidak daun-daun sayur kerana ia harus berada di dapur untuk juadah. Tukang kebun bertemankan daun-daun setiap pagi, membersihkan taman dan laman rumah. Daun-daun kering menjadikannya tukang taman yang mahir, malah dari daun-daun, dia intim membentuk pelbagai rekaaan objek memikat mata memandang taman. Daun yang menghijau menjadi terapi untuk mata yang rabun. Saujana belantara dipandang indah oleh kehijauan memberi pengertian yang tersendiri terhadap keAgungan Ilahi. Daun menjadi analogi terhadap kejatuhan. Daun sebagai sampah yang tidak bererti apa-apa. Daun yang jatuh biasanya kita menganggapnya sebagai benda yang tidak ada nilainya. Apabila jatuhnya seorang daripada kehebatan, ia jatuh seperti daun. Berbeza dengan jatuhnya bibit-bibit, akan tumbuh yang baharu. Jatuh daun ia umpama sampah. Jika dulu rimbunnya menjadi harapan tempat berteduh, bernaung dan sebagainya. Dulu rimbun hijaunya disanjung dan dipuja. Tatkala tiba masanya ia hanya daun dan bukan bibit, harus akur, daun akan menjadi sampah bagi yang tak tahu menghargai jasa tetapi siapa tahu daun itu juga menjadi baja kepada bibit-bibit yang berada di tempat yang sama. Seperti biasanya, daun adalah tanaman yang ditunggu apabila akan bersemi yang akan menuai asa tunas kehidupan pohon. Tanpa ramai orang menyedari, daun adalah awal kehidupan yang mencerahkan bagi manusia. Namun, berbeza ketika daun tersebut sudah menua dan sudah layu, lantas jatuh dengan sendirinya dengan diterbangkan oleh angin yang semilir di depan wajah. Daun tersebut terbang dengan ringannya hingga jauh di bawah bumi, menyentuh tanah, kemudian di injak-injak oleh para makhluk hidup yang melintas di bawah pohon tersebut. Lantas, makhluk hidup itu, termasuk manusia tidak mengambil sari pati tentang jatuhnya daun itu. Kita santai melihat, sampah yang terserakan di jalanan, di pelataran rumah, di perkebunan, atau di manapun berada, daun menjadi barang yang tidak ada nilainya, tidak ada manfaat lagi. Bahkan, daun menjadi barang yang menambah-nambahi kesibukan seseorang. Dengan demikian, kita menjadi orang yang tidak akan bersyukur dan selalu melakukan tindakan yang sebetulnya merugikan diri kita sendiri. Melemahkan pandangan, menyiutkan mentality dan melunturkan keyakinan kita sendiri. Sehingga manusia menjadi makhluk yang tidak memiliki asa untuk menjadi yang lebih baik. hanya akan menjadi manusia yang suka dengan hal-hal yang segera dan tidak suka dengan tindakan dengan gerak nyatanya. Untuk, manusia harus belajar dengan lingkungan sekitarnya, sekalipun itu dengan benda yang dinilai tidak ada harganya. Namun, kita luput daripada pesan yang disampaikan oleh daun yang jatuh itu. Daun yang jatuh tidak akan menyalahkan angin yang menerbangkan dan menjatuhnya. Daun jatuh dan terbang dengan kerelaan dan kerendahan harinya, serta ia tetap memiliki pegangan jatuh di tanah. Bagaimanapun, daun tetap tidak mahu mengeluh. Ia tetap bersemangat ke mana angin menerbangkan. Bahkan daunpun tidak memarahi atau mengherdik angin sebagai pembawa petaka baginya. Namun, ketika kita hidup di dunia ini, masih banyak orang yang mengeluh dengan keadaannya yang serba kurang. Mengeluh dengan situasi yang menjepitnya. Hilang semangat ketika musibah datang. Pun hilang pedoman hidupnya sehingga ia nekad mengakhiri hidupnya dengan cara yang tidak sukai Tuhan. Barangkali, kita dapat belajar kepada kehidupan daun yang tidak pernah membenci angin yang menerbangkannya ke mana pun ia terbang. Angin datang tanpa diduga-duga. Angin datang tanpa direncana. Angin berhembus tidak minta izin terlebih dahulu. Kerana daun tetaplah daun. Dengan kerendahan daun, batang atau tangkai yang ditinggalkan daun tersebut, ia yakin akan ada kehidupan baharu setelah daun itu jatuh. Serupa helai-helai daun yang tidak memiliki dan mempunyai sesuatu, hingga pada akhirnya ia harus gugur dan jatuh ke tanah, lepas dari batang pohon yang teguh sekalipun. Melayang mengikuti angin sebagai takdirnya. Entah ia jatuh pada tanah gersang, tanah subur, tanah berbatu, atau di atas jalanan, hingga ia langsung terlindas kenderaan-kenderaan yang lewat. Entah ia jatuh di atas permukaan air yang menghanyutkannya dan entah sampai bila ia harus hanyut atau dihanyutkan. Semuanya entah, hingga matahari tidak dapat lagi membantunya membentuk klorofil-klorofil bagi daun-daun gugur itu. Kita sebagai makhuk yang dibekali semua yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, alangkah indahnya belajar dengan alam. Dan kembali ke alam sekitar kita kerana alam adalah awal kehidupan. Daun yang jatuh tidak akan membenci angin yang menjatuhkannya ke bawah. Kita sebagai khalifah di muka bumi ini, sudah seharusnya tidak mengeluh dengan keadaan kita. Cuba sejenak kita toleh ke bawah, masih banyak orang di luar sana yang masih kurang daripada kita. Sudah sepantasnya, kita tetap menatap dengan mantap keindahan hidup ini dengan sukacita. Namun, sudah seperti itu kah kita? Sambil berawas ketika masih berada di atas dan bersiap sedia setelah berada di bawah, gugur bagai daun-daun yang dikisahkan.
Pustaka Iqbal Nazim�
Tiada ulasan:
Catat Ulasan