Rabu, November 20, 2024
Selasa, November 19, 2024
Kekuasaan dan Naratif Kesempatan
Dalam sejarah peradaban manusia, kekuasaan sering kali menjadi elemen utama yang menentukan hala tuju masyarakat. Namun, kekuasaan tidak pernah berdiri sendiri. Ia kerap bersekutu dengan naratif kesempatan, iaitu cara kuasa itu dijustifikasikan, diperluas, dan dikukuhkan melalui penguasaan naratif. Naratif ini menjadi alat untuk mengawal persepsi masyarakat, membentuk realiti, dan mengesahkan tindakan-tindakan tertentu. Artikel ini akan mengupas bagaimana kekuasaan dan naratif kesempatan saling berkait, kesannya kepada masyarakat, dan bagaimana kita dapat mempersoalkan hubungan tersebut.
1. Kekuasaan dan Pembentukan Naratif
Kekuasaan adalah keupayaan seseorang atau kelompok untuk mempengaruhi dan mengawal tindakan orang lain. Dalam proses ini, naratif kesempatan menjadi alat utama untuk memastikan kekuasaan diterima atau tidak dipersoalkan. Naratif yang dibentuk sering kali menggambarkan pihak yang berkuasa sebagai pahlawan, penyelamat, atau simbol kestabilan, manakala pihak yang menentang dijadikan ancaman atau musuh.
Sebagai contoh, dalan politik, pemimpin sering mencipta naratif tertentu untuk mewajarkan keputusan mereka, sama ada naratif pembangunan, keamanan, atau patriotisme. Naratif ini digunakan untuk mencipta legitimasi di mata rakyat, meskipun tindakan sebenar mungkin tidak sejajar dengan kepentingan awam.
2. Naratif Kesempatan: Mengambil Peluang dalam Krisis
Naratif kesempatan kerap kali muncul dalam situasi krisis. Dalam keadaan seperti bencana alam, pandemik, atau konflik, pihak berkuasa sering menggunakan naratif ini untuk mengukuhkan kedudukan mereka.
Sebagai contoh, dalam situasi darurat, naratif keselamatan digunakan untuk mengenakan kawalan yang ketat, seperti pengawasan, sekatan kebebasan, atau penghapusan hak asasi. Walaupun tindakan tersebut mungkin diperlukan dalam konteks tertentu, ia sering dieksploitasi untuk melanjutkan kekuasaan pihak tertentu selepas krisis berakhir.
Naratif kesempatan juga muncul dalam bidang ekonomi. Ketika ketidaksamaan ekonomi semakin meningkat, naratif meritokrasi sering digunakan untuk membenarkan jurang tersebut. Orang kaya digambarkan sebagai pekerja keras yang layak menerima kejayaan mereka, manakala orang miskin dilihat sebagai tidak cukup berusaha. Naratif ini mengaburkan realiti struktur ketidaksamaan dan memperkukuh kedudukan kelas atasan.
3. Kesan kepada Masyarakat
Hubungan antara kekuasaan dan naratif kesempatan meninggalkan kesan mendalam kepada masyarakat:
- Pengaburan Kebenaran: Naratif yang dicipta sering kali memanipulasi fakta untuk menguntungkan pihak tertentu. Ini menyebabkan masyarakat menerima realiti yang telah diolah, bukannya kebenaran yang sebenar.
- Penindasan Terselubung: Dengan menggunakan naratif tertentu, pihak berkuasa dapat menindas pihak yang lemah tanpa mendapat tentangan besar. Sebagai contoh, naratif pembangunan boleh digunakan untuk merampas tanah komuniti tanpa persetujuan mereka.
- Pembentukan Hierarki Kuasa: Naratif kesempatan membantu memperkukuh hierarki sosial dan ekonomi yang sedia ada, menjadikan perubahan sukar dicapai.
4. Mempertikaikan Naratif Kesempatan
Untuk mematahkan dominasi kekuasaan melalui naratif kesempatan, masyarakat perlu mengembangkan kesedaran kritis. Beberapa langkah yang boleh diambil termasuk:
- Membongkar Naratif Dominan: Masyarakat perlu berani mempersoalkan naratif yang dicipta oleh pihak berkuasa dan mencari kebenaran di sebalik setiap keputusan atau tindakan.
- Menyokong Naratif Alternatif: Ruang perlu diberikan kepada pihak yang tidak berkuasa untuk menceritakan pengalaman mereka. Naratif alternatif ini penting untuk mencabar monopoli kekuasaan terhadap realiti.
- Memperkuat Pendidikan Kritis: Sistem pendidikan harus mengajarkan pemikiran kritis supaya masyarakat dapat mengenali manipulasi naratif dan menilai tindakan pihak berkuasa dengan lebih objektif.
5. Kesimpulan
Kekuasaan dan naratif kesempatan adalah dua elemen yang saling bergantung dalam mengawal masyarakat. Walaupun naratif digunakan untuk membina legitimasi dan kestabilan, ia sering kali menjadi alat manipulasi dan penindasan. Oleh itu, masyarakat perlu sentiasa sedar akan bahaya naratif kesempatan dan berusaha untuk mempertahankan kebenaran. Dengan pemikiran kritis dan ruang untuk naratif alternatif, kita dapat mencabar kekuasaan yang tidak adil dan membentuk masa depan yang lebih inklusif dan saksama.
Kategori
Kekuasaan,
Naratif Kesempatan,
Politikj
Khamis, November 14, 2024
RUMAH KITA
UNGKAPAN "Dulu rumah kita kita jaga, sekarang rumah kita orang lain jaga" mengandung makna simbolik yang dapat ditafsirkan dari berbagai sudut pandang, termasuk sosial, budaya, dan moral. Secara umum, ungkapan ini mengilustrasikan perubahan nilai, peranan, atau tanggungjawab yang terjadi dalam kehidupan manusia, khususnya dalam konteks hubungan dengan lingkungan, identiti, dan rasa memiliki.
Ungkapan ini menggambarkan perubahan fungsi dan peranan "rumah" dari masa ke masa. Secara harfiah, "rumah" merujuk kepada tempat tinggal atau simbol keluarga, namun secara metaforis, "rumah" melambangkan masyarakat, bangsa, atau identiti kita.
Ketika "rumah menjaga kita," hal ini bererti rumah tersebut melindungi, memberikan kenyamanan, keamanan, dan rasa memiliki. Rumah berfungsi sebagai pelindung alami yang menjaga keberlangsungan hidup kita, baik secara fizikal mahupun emosional. Dalam konteks yang lebih luas, ini juga menggambarkan masyarakat atau lingkungan yang memberi rasa aman dan menjaga nilai-nilai tradisional.
Ketika "rumah kita dijaga orang lain," ini menandakan hilangnya rasa tanggungjawab atau ketergantungan pada pihak luar untuk memelihara sesuatu yang dulunya menjadi bahagian dari identiti atau kelaziman kita. Hal ini dapat diertikan sebagai perubahan pola hidup, di mana kita menyerahkan tugas menjaga rumah (atau identiti) kepada orang lain, baik kerana ketidakmampuan, kesibukan, atau kurangnya kepedulian, bahkan disebabkan 'rasa terpaksa' atau ada 'muslihat' yang sulit dijelaskan kepada umum.
Ungkapan ini boleh dilihat sebagai kritik terhadap ketergantungan yang semakin besar pada pihak luar. Misalnya dalam konteks rumah tangga, dulu orang-orang menjaga rumah mereka sendiri, merawat dan membersihkan secara mandiri. Namun, kini ada kecenderungan menyerahkan tanggung jawab itu kepada orang lain, seperti pembantu rumah tangga atau penjaga profesional.
Sementara dalam konteks sosial, ungkapan ini mencerminkan bagaimana masyarakat moden cenderung menyerahkan urusan menjaga nilai-nilai budaya, adat, atau lingkungan kepada pihak ketiga, seperti 'pemerintahan' atau organisasi non-pemerintah, alih-alih memikul tanggung jawab sendiri.
Ungkapan ini juga bisa mencerminkan hilangnya rasa memiliki terhadap sesuatu yang dulu sangat penting. Ketika orang lain menjaga rumah kita, ini menunjukkan kita semakin jauh dari akar kita sendiri, baik secara emosional maupun fizikal. Hal ini sering terjadi dalam masyarakat ini di mana mobiliti tinggi dan globalisasi mengubah cara orang berinteraksi dengan tempat asal atau budaya mereka.
Dalam konteks budaya, ungkapan ini menggambarkan bagaimana masyarakat tradisional yang dulu menjaga adat, bahasa, dan warisan budaya kini mulai bergantung pada orang luar untuk melestarikannya. Misalnya, upaya melestarikan budaya tradisional sering kali lebih digerakkan oleh komuniti akademik atau lembaga luar dibanding masyarakat asli itu sendiri.
Dalam konteks lingkungan, "rumah" mungkin dilihat sebagai planet atau ekosistem. Dahulu, manusia menjaga keseimbangan alam dengan cara hidup yang berkelanjutan. Namun kini, tugas menjaga lingkungan seringkali diserahkan kepada aktivis atau organisasi tertentu, sementara sebahagian besar masyarakat bersikap pasif.
Ungkapan ini dapat dijadikan sebagai pengingat untuk merefleksikan kembali tanggungjawab kita terhadap apa yang menjadi milik kita. Ia mengajak kita untuk kembali mengambil peranan aktif dalam menjaga rumah, baik secara harfiah maupun simbolis, agar tetap menjadi tempat perlindungan yang autentik dan berfungsi sebagaimana mestinya.
Langgan:
Catatan (Atom)