Pengarang buku-buku kumpulan puisi berjudul ‘Balada Paduka Mat Salleh’ (DBP, 1989), ‘Akar Cahaya’ (IPS, 1997), ‘Datang Kembali’ (IPS, 1997), 'Menginai Badai' (DBP, 2004), 'Sirna Sirna' (DBP, 2006) 'Kembali di Lahad Rahsia' (Iris, 2008), 'Suara yang Terbuka' (ITBM, 2014), dan ‘Kelahiran Sekuntum Cermin’ (Iris, 2018) ini, ternyata pernah bekerja sebagai seorang yang bergelut di bidang kaset rekaman radio. Hal itulah yang membuatnya juga berhasil menerbitkan 15 buah skrip drama pentas/radio. Total karya hingga saat ini, Hasyuda Abadi atau Haji Sukor bin Haji Usin, telah menghasilkan lebih 1,000 buah puisi yang dimuat di berbagai media, 45 buah cerpen, dan 300-an buah esei sastra.
Di usianya yang ke-63 tahun, ia berhasil menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul “Hutan Ayah” yang mendapat atensi bagi pemerhati sastra di Malaysia dan Indonesia. Hal ini tentu saja terbukti dalam puisinya yang menjadi judul buku kumpulan puisi tersebut. Dalam puisi “Hutan Ayah” terkhusus, Hasyuda Abadi berhasil untuk mengupayakan jembatan antara kritikus sastra profesional dan remaja awam yang baru belajar ‘membaca’, untuk merenungi kembali tentang tema kemanusiaan di era AI ini.
kuikuti susur galur hutan
hutan kemanusiaan
menjabar cabaran
karena geloranya lebih mengajar
menjadi insan.
ayah mencintai dirinya
sebagaimana Tuhan lebih berhak
memilikinya.
(Hutan Ayah, 2023: 14)
Dalam kutipan puisi di atas terdapat unsur kritik sosial di mana penggambaran kondisi sosial di zaman modern yang sudah jauh dari ajaran keilahian. Manusia saat ini sudah lupa alasan keeksistensian dunia untuk berbakti dan mengabdikan diri kepada Allah SWT dengan dilandasi dengan kesadaran dan keikhlasan. Berbakti kepada Allah tersebut dapat berupa berbuat sesuatu yang bermanfaat, baik untuk diri sendiri maupun sesama manusia. Hal itu dikarenakan manusia-manusia sekarang sudah kehilangan sosok ‘ayah’ yang bijak dan berlaku sebagai penunjuk jalan yang benar.
belajarlah kata ayah
berlayar ke hutan gelombang
ayah ke hutan cintanya
bersama pisau pencarian
dewasa di hutan pohonan
memikul harapan buat generasi
dibinanya.
(Hutan Ayah, 2023: 14)
Pada bait di atas dibumbui dengan unsur pengimajian dan alegori, yang sejatinya seringkali disampaikan seorang ayah atau guru di majelis-majelis ilmu dua dekade lalu. Orang tua dulu seringkali berpesan kepada anak-anaknya tentang pentingnya menjalani kehidupan yang pelik dengan sabar dan penuh tanggung jawab. Seumpama sedang berlayar ke hutan gelombang sehingga menjadi dewasa di hutan pohonan.
Di lain sisi, petuah-petuah bijak yang idealnya selalu disampaikan seorang ayah kepada anaknya diseimbangkan oleh sentuhan kasih sayang seorang ibu. Ibaratnya, jauh sebelum ilmu parenting dikoar-koarkan sosial media, keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak adalah sekolah terbaik untuk menciptakan seorang manusia sejati.
Hal ini tampak pada puisi selanjutnya yang sengaja dipilih penyair diletakan berdampingan dengan puisi “Hutan Ayah”, yaitu puisi “Bonda”. Pada puisi “Bonda” ditunjukkan bahwa segala kemelekatan terhadap materi keduniawian akan menciptakan manusia-manusia yang hampa, karena hatinya telah dibutakan oleh sesuatu yang maya. Untuk itu, sosok Ibu seringkali “menyentuh hati” anak-anaknya dengan cinta agar sadar bahwa semua yang ada di dunia adalah sementara.
tak mampu memberi air mata
karena tak menjawab tanya
sejak menyambutku
di rahang cinta
sejak menyerahkanku
ke rahan duniawi.
(Hutan Ayah, 2023: 15)
Maka dari itu, pada bait selanjutnya, Hasyuda Abadi menguatkan puisi “Bonda” dengan asosiasi-asosiasi definitif. Ia berupaya mengingatkan kembali pembaca terhadap ungkapan ibu sebagai madrasatul ula (madrasah pertama) karena darinyalah pendidikan anak pertama dan utama dimulai. Dari ibulah seorang anak belajar mengenai segala hal baru dalam hidupnya. Belajar berbicara, menimba ilmu dan adab yang mulia, serta menempa kepribadiannya demi mengarungi kehidupan yang luas bagai samudera.
dari jauh dulu
mengasuh adalah guru
mendidik adalah idola
mengajar adalah pandu.
(Hutan Ayah, 2023: 15)
Seperti halnya kehidupan di dunia, yang dibagi menjadi tiga fase, yaitu kelahiran, proses perjalanan hidup, dan kematian, begitu pula rancangan buku kumpulan puisi “Hutan Ayah”. Buku ini dibagi menjadi tiga fase, yaitu Hutan Ayah, Daun Ranting Penghabisan, dan Sosok Berbaju Fikir dan Paradigma Belantara. Dengan demikian, semakin dewasa seseorang, maka pemikiran juga akan mengalami evolusi, sehingga berkembang dan progresif.
Jadi sebelum manusia menelurkan pemikiran-pemikiran yang kritis dan progresif, hendaklah dibekali dulu dengan fondasi-fondasi kebijaksanaan yang cukup dan memanusiakan manusia.
bab demi bab dilalui
ada rahsia tersendiri tidak difahami.
bersua dan berpisah, pergi dan tiba,
kelahiran dan kepulangan,
dan diam.
telah tertulis peta kehidupan
menyediakan perjalanan
semakin ketara liku-likunya.
masa lampau tenggelam
hanya bayang
di permukaan seperti kolam.
di penghujung malam menantikan matahari
membuka pintu dan bab berikutnya.
(Hutan Ayah, 2023: 28)
Pada cuplikan puisi berjudul “Buku Kehidupan” tersebut, penulis mengungkap perjalanan hidup manusia yang berlapis-lapis. Lika-likunya ditegaskan dalam metafora “peta kehidupan”. Meski demikian, seumpama kata “peta” itu sendiri, tentunya tujuannya adalah memudahkan manusia untuk memilih opsi terbaik bagi perjalanan hidup yang tepat. Puisi ini sendiri diletakkan di tengah-tengah buku pada halaman 28 yang juga terdapat pada bagian Daun Ranting Penghabisan, yakni bagian kedua dari fase buku ini.
insan yang ada lemahnya
sampai masa seperti semua
dijemput dan ditanam
bumi menyimpan jasad
ruhnya pulang.
ia lemah dalam ketaksuban
berasa benar tak sedar kesasar
ketika dituangurukan
ia lemah dibalut kepalsuan
kesementaraan.
(Hutan Ayah, 2023: 57)
Dalam petikan puisi di fase ketiga berjudul "Tuan Guru" ini, Hasyuda Abadi sekali lagi mengisyaratkan bahwa manusia harus berhati-hati untuk tidak terjerumus pada hal yang sementara di dunia. Hal inilah kiranya yang termasuk ke dalam puisi-puisi di fase “Sosok Berbaju Fikir dan Paradigma Belantara” yang menjadi bagian pamungkas dari buku kumpulan puisi “Hutan Ayah” karya Hasyuda Abadi ini.
Pada akhirnya, semua yang ada di dunia ini hanyalah persepsi manusia. Manusia berhasil mencapai kesejatiannya ketika dia mampu berempati dan mengendalikan diri. Namun, manusia akan terjebak dalam jasad ketika manusia hidup dalam kepalsuan dan kesombongan dunia. Seperti ungkapan “Sawang Sinawang”, manusia saat ini hanya bisa membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain, padahal yang terlihat di layar ponsel belum tentu seindah dan senyata yang sebenarnya di dunia nyata.(***)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan