Ahad, Januari 04, 2009

Puisi | SEBUAH KEMERDEKAAN BUKAN UNTUK PALESTIN














Insan yang mulai disayat hatinya
sambil darahnya sudah hampir tiada
kering-kering-kering-kering-kering
tapi mata suaranya mulai membuka jiwa raganya
maka kali ini sajaknya mahu
menerbangkan sayap batinnya jauh
menakluk dunia bencana
di mana darahnya yang kering itu
rupanya berkubur di bumi yang lain
iaitu Palestin










Up to 12,000 demonstrators took to the streets of London in protest against the attacks on Gaza, throwing shoes through the gates of Downing Street and setting fire to the Israeli flag.








Insan yang mulai disayat hatinya
sambil darahnya sudah hampir tiada
kering-kering-kering-kering-kering
tapi mata suaranya mulai membuka jiwa raganya
maka kali ini sajaknya mahu
menerbangkan sayap batinnya jauh
menakluk dunia bencana
di mana darahnya yang kering itu
rupanya berkubur di bumi yang lain
iaitu Palestin

Palestin
suaranya terbuka selembar demi selembar
terlukislah warna-warna merah, hitam kelam
raung yang maha raung muzika kesedihan
sehingga saat itu, tidak ada lagi
tempat memikir-mikirkan bahasa baik
atau keindahan santun nenek moyang
nikmat sebuah kehidupan purba
tidak ada juga damai bagai perkampungan
menyimpan citra padang pasir, sungai nil, gelora
tebing barat sungai jordan

warna darah menghias kanvas
orang-orang bencana sambil gagalnya
orang-orang membuat bencana
menyelesaikan silangkata di atas
meja santap entah berakhir bila
mereka berada di dalam seksa
cemas meneguhkan sikap
yang belum pernah siap
sambil di luar perdebatan
orang-orang bencana melaung-laungkan
angkara tanpa pedoman meruntuhkan kota
meluluhkan harmoni bangsa
menelanjangkan kegamatan, rakus kuasa
menelanjangkan dendam demi dendam
yang panjang
membara,
ketika visual bedilan-bedilan
mortar, bedilan-bedilan batu, bayangkan kesedihan ini
tubuh kanak-kanak dimamah peluru
dalam getar ketakutan dalam getar menghadap maut
dalam getar menginap di kamar peri
manusia insan mengerti

berapa ramaikah lagi anak-anak membutuhkan
keinsanan, dunianya yang dimulakan kebobrokan
berapa lamakah lagi insan malang
tak berhenti menceritakan wanita-wanita
sesat punca, wajah usang, kering kontang
retak beribu bagai ranting zaiton
patah, patah sayap merpati putih
di angkasa luas raksasa
tak terjelajah dunia sengketa ini
kerana titik puncanya adalah sebiji
bom jangka yang meletus bila-bila
para mujahid berani mati
dan inilah ledakan sengketa
mengumpul segala kekuatan suara
riuh rendah, suara dendam kesumat
suara riuh meluluh hasrat
merdeka, suara raungan tanpa kenal
di mana waktu malam dan siang
di mana bayi-bayi, anak-anak harus disusukan,
orang-orang tua yang mempertahankan
warna purba yang tak pernah memutihkan
kenangan, di sini orang-orang bencana
menulis kata demi kata di atas
meja batu dan debu-debu darah
udara bayu sengketa berbalam-balam
kepulan kemusnahan

oh! kau gugur, damai, setelah sekian
demi sekian lamanya
hatiku telah disiat-siat luka
lama seperti dalam sajak-sajak lara
orang-orang bencana
bermain-main di taman perkasihan
dari sebuah bangunan bangsaku
yang sama menganyam dendam diamnya
begitukah akan kelihatan
sebuah visual kehidupan huru hara
sengketa sikap meranapkan warna
warni bangsa, menggadai makna bebas
bebas, bebas seadanya

hidup sebuah kemerdekaan
tidak untuk palestin, tapi untuk
anak-anak yang lemas di lautan dendam
yang hangus dalam bahang api sengketa
Palestin tak perlu merdeka
tapi anak-anak kecil itu harus besar
ada harga diri
benteng di akal menyanggah liar akar
angkuh membunuh jiwa raga
menyemai dendam-dendam yang sama
Palestin biarpun lenyap di buminya sendiri
israel biarpun lenyap di bumi sini
Palestin biarpun lenyap di tanah airnya sendiri
israel biarpun lenyap di tanah air sini
orang-orang bencana dan pencetus sengketa
tak mungkin mengenal erti diam
kecuali memahami untuk pulang
di sisi Tuhan!

Tiada ulasan: