Sabtu, November 18, 2017

Karya sastera sebagai sajian pengapresasian estetik


oleh Hasyuda Abadi
SASTERA adalah bahagian daripada warisan budaya kita yang bebas tersedia untuk semua orang, dan yang dapat memperkaya hidup kita dengan cara imaginasi dan makna. Membaca karya sastera dapat menghibur, dapat menimbulkan situasi batin atau kejiwaan yang indah, lucu, atau bahkan tragis. Karya sastera dapat menyampaikan kedalaman pemikiran pembaca sebagai bentuk kekayaan emosi, dan wawasan tentang karakter. Karya sastera dapat membawa pembaca melampaui pengalaman hidup sehari-hari yang terbatas. Karya sastera dapat menunjukkan kepada kita kehidupan orang lain di lain waktu. Karya sastera dapat memproses dan berdialog dengan intelektual dan emosional kita, serta memperdalam pemahaman pembaca tentang sejarah diri mereka, sejarah masyarakat dan sejarah kehidupan manusia itu sendiri. 

Melalui karya sastera yang berkualiti umpamanya novel-novel Sasterawan Negara A. Samad Said, novel-novel Sasterawan Negara Shahnon Ahmad, hingga sajak-sajak Sasterawan Negara Kemala akan menunjukkan kepada kita siapa diri kita dahulu dan sekaligus menemukan bahasa kita. Melalui sastera, generasi manusia dapat menyerap berbagai gagasan kehidupan melalui bahasa itu sendiri, kosa kata, tata bahasa, dan nada. Cara sasterawan menggunakan bahasa mewujudkan suasana budaya dari waktu mereka hidup dan merefleksikan kehidupan. Karya-karya sastera  dapat membawa kita, melalui imaginasi, kembali ke akar budaya kita, dan rasa kesinambungan dan perubahan yang kita dapatkan dari sastera untuk membantu kita memahami dunia yang sedang berlangsung.

Mengapa kita perlu mempelajari sastera kita, bukan semata-mata kerana di dalamnya ada kualiti bahasa kita. Mempelajari sastera juga bererti kita menelusuri ilmu pengetahuan dalam bentuk pemikiran yang telah direfleksikan oleh pengarang, kita dapat memperoleh wawasan dari idea-idea tentang dunia dan realiti yang digambarkan pengarang melalui bahasa. Bahkan kritik-kritik sosial, politik, undang-undang yang terdapat dalam sastera  dapat membantu kita membuat keputusan dalam transisi kehidupan sosial, politik dan hukum.

Mempelajari sastera bererti mempelajari bahasa, pemikiran, gagasan, budaya, dan tradisi. Lebih dari itu, mempelajari sastera akan memperkenalkan kita sebuah  dunia baharu pengalaman, membawa kita berkelana pada pemikiran dan gagasan dunia baharu yang berbeza sehingga membuat kita kaya secara intelektual. Mempelajari sastera bererti belajar untuk menafsirkan pesan pengarang dalam karyanya secara akademis. Secara formal, mempelajari sastera bererti melakukan “decoding text” melalui sejumlah teori sastera, dengan menggunakan pendekatan, mitologis sosiologis, psikologis, historis atau lainnya. Mempelajari sastera bererti melengkapi diri sebagai manusia yang tuntas.

Secara umum banyak orang yang mengemukakan pengertian sastera sebagai keindahan dalam berbahasa.  Pemahaman sastera sebagai produk manusia yang mengandung nilai keindahan sudah benar. Jika menelusuri erti sastera melalui sejarahnya, baik di Barat (baca: sejak Yunani purba) mahupun di Nusantara, nilai keindahan menjadi satu kriteria yang utama. Estetik ialah bidang dalam falsafah yang melihat, menikmati, menganalisis dan memperkatakan keindahan yang wujud pada alam dan karya seniman. (Hamidah Abdul Hamid, 1995)

Bagaimanapun, istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik kerana sifatnya.. Orang juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuknya setangkup, sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah perasaan. Untuk membezakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatu yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetik. Dalam hal ini keindahan “dianggap” seerti dengan nilai estetik pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu bersifat penilaian subjektif.

Perkembangan estetik akhir-akhir ini melihat keindahan tidak hanya dipersamakan ertinya dengan nilai estetik seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetik. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetik mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah kerana indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetik tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.

Nilai estetik selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah bererti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang ternyata bertentangan sepenuhnya dengan keindahan tersebut. Kerana itu, kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetik yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetik pada umumnya kini diertikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda  untuk menimbulkan suatu pengalaman estetik.

Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana seorang pengamat menanggapi atau memahami sesuatu karya estetik atau karya sastera?  Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualiti dari benda estetik, melainkan juga menelaah kualiti yang terjadi pada karya estetik tersebut, terutama usaha untuk menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan keberadaan karya sastera tersebut (The Liang Gie 1976: 51).

Pemahaman estetik dalam sastera, bentuk pelaksanaannya merupakan apresiasi. Apresiasi sastera merupakan proses sadar yang dilakukan penghayat dalam menghadapi dan memahami karya sastera. Apresiasi tidak sama dengan penikmatan, mengapresiasi adalah proses untuk menafsirkan sebuah makna yang terkandung dalam karya sastera. Seorang pengamat yang sedang memahami karya sajian maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang dihayati.

Apresiasi menuntut ketrampilan dan kepekaan estetik untuk memungkinkan seseorang mendapatkan pangalaman estetik dalam mengamati karya sastera. Pengalaman estetik bukanlah sesuatu yang mudah muncul atau mudah diperoleh, kerana untuk semua itu memerlukan pemusatan atau perhatian yang sungguh-sungguh. Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat yang merupakan kualiti daripada benda estetik, melainkan juga menelaah kualiti abstrak daripada benda estetik, terutama usaha menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya sastera (Liang Gie, 1976).

Seorang penghayat yang merasakan kepuasan setelah menghayati suatu karya, maka orang tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan kombinasi antara sikap subjektif dan kemampuan melakukan persepsi secara kompleks. Pada dasarnya pengalaman estetik merupakan hasil suatu interaksi antara karya sastera dengan penghayatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu keadaan yang mendukung dan dalam keadaan penangkapan nilai-nilai estetik yang terkandung di dalam karya sastera; iaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional.

Pengalaman estetik bukanlah suatu yang mudah muncul, atau mudah diperoleh, kerana untuk itu memerlukan pemusatan dan atau perhatian yang sungguh-sungguh. Terhadap ini masih ada hambatan lain iaitu sifat emosional penghayat. Seseorang penghayat yang merasakan adanya kepuasan setelah menghayati suatu karya, maka orang tersebut dikatakan memperoleh kepuasan estetik. Kepuasan estetik merupakan kombinasi antara sifat subjektif dan kemampuan persepsi secara kompleks. Pada dasarnya pengalaman estetik merupakan hasil daripada satu interaksi antara suatu karya sastera dengan penghayatnya. Interaksi ini tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang memenuhi persyaratan. Kondisi yang dimaksud adalah kondisi penangkapan atas karya sastera iaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional. 

Pengamat yang sedang memahami karya sajian, maka sebenarnya ia harus terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar dari struktur yang mendasar tentang karya yang akan atau sedang ia hadapi, ertinya apabila seorang akan menghayati karya rupa, maka seseorang harus betul-betul memahami atau mengenal struktur dasar dari sastera, ia harus mengenal erti garis atau goresan; ia harus mengenal shape atau bidang kecil yang dihadirkan, mengenal warna dengan berbagai peranan dan fungsinya, mengenal dimensi ruang, waktu, serta juga mengetahui secara benar cara mengorganisasikan atau mengkomposisikan, ertinya seorang apresiator faham akan sistem pengorganisasian antara lain: harmonis, kontras, gradasi, serta hukum keseimbangan formal atau tidak formal yang dihadirkan oleh sasterawannya, di samping itu juga seorang penghayat harus memahami teknik di dalam menghadirkan unsur-unsur rupa tersebut serta cara mencapai nilai karakterisasi dari unsur yang dihadirkan.

Menghadapi karya sastera, sastera pertunjukan, sastera lukisan dan cabang sastera yang lain, maka seorang penghayat harus dapat menafsirkan struktur organisasi yang disajikan sasterawan lewat lambang-lambang atau simbol kata-kata. Lambang-lambang yang dihadirkan lewat informasi, bukan sekadar menginformasikan kata-kata dalam erti baku, tetapi seorang penghayat harus benar-benar menangkap maksud sasterawan menerusi kata-kata yang mereka komposisikan. Sehingga bukan semata-mata ragam kalimat baku yang diinformasikan tetapi lambang-lambang yang dipesankan lewat kata-kata yang hakiki.

Di sini seorang penghayat harus mampu menafsirkan setiap unsur, setiap karekter yang disampaikan sasterawan. Di sinilah kenapa seseorang dengan cepat memahami karya muzik, dengan cepat memahami karya sastera, kerana memang mereka sering terlibat dalam proses pemahaman lewat karya-karya sajian.

PUSTAKA IQBAL NAZIM © 2017


Tiada ulasan: